Jumat, 31 Juli 2009

FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL NO.42/DSN-MUI/V/2004
TENTANG SYARIAH CHARGE CARD
DALAM PANDANGAN YURISPRUDENSI


A. Pendahuluan

Islam sebagai agama yang sempurna telah memberi aturan-aturan secara menyeluruh dalam rangka mengatur kegiatan manusia dimuka bumi. Aturan-aturan itu dengan indah dicantumkan dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Rasulullah dengan Sunnahnya. Dengan demikian, tidak ada satu sisipun dari kehidupan manusia yang lepas dari aturan Islam, baik masalah ibadah maupun muamalah.
Salah satu masalah muamalah yang mendapat perhatian cukup besar dalam Islam adalah masalah ekonomi. Sebagai agama yang sempurna, maka seyogyanya Islam dapat memberikan pedoman hidup secara menyeluruh bagi manusia dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Begitu banyak firman Allah yang diturunkan untuk mengatur manusia tentang bagaimana cara menjalankan kegiatan ekonomi dengan baik yang diridhoi oleh Allah SWT. Salah satu hal yang paling ditekankan oleh Allah SWT adalah masalah Riba, sebagaimana firmannya:
” ..... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.....” (Al Baqarah (2) :275)

Oleh karena itu, dalam melaksanakan kegiatan muamalah dibidang ekonomi, seorang muslim harus menghindari praktek-praktek ribawi.
Namun terkadang, ada kalanya terdapat praktek-praktek muamalah yang dinilai oleh sebagian pihak tidak sesuai dengan prinsip syariah namun pihak lain dianggap sesuai dengan syariah dan telah dikeluarkan fatwa halal oleh Majelis Ulama Indonesia. Salah satunya adalah kegiatan muamalah dibidang ekonomi dengan menggunakan charge card.

B. Pembahasan
Pengertian Charge Card
Secara etimologis, charge Card terdiri dari dua suku kata yaitu:
1. Chartes, χάρτης (a sheet ('chart') of writing-material (as to be scribbled over)) sepotong material yang tertera tulisan.
2. Charge adalah ongkos muatan, harga
Dengan demikian, secara bahasa, Charge Card dapat diartikan sebagai sebuah potongan material kecil yang bertulisan yang digunakan untuk proses tertentu yang dengannya dibebankan biaya/harga tertentu.
MUI dalam fatwanya menambahkan kata Syariah didepannya sehingga menjadi Syariah Charge Card yang diartikan sebagai sebagai fasilitas kartu talangan yang dipergunakan oleh pemegang kartu (hamil al-bithaqah) sebagai alat bayar atau pengambilan uang tunai pada tempat-tempat tertentu yang harus dibayar lunas kepada pihak yang memberikan talangan (mushdir al-bithaqah) pada waktu yang telah ditetapkan.


Perbedaan Charge Card dengan Credit Card
Perbedaan antara Syariah Charge Card dengan Kredit Card yaitu terletak pada penggunaan kata Charge dan Credit. Kata Credit berasal dari bahasa Latin “Credere’ yang berarti loan, debt, what is lent atau “creditum” yang berarti berati lend to, make loans, give credit; trust, entrust; commit . Sedangkan kata Charge yang berarti ongkos muatan , harga.
Dengan demikian, dari pengertian secara bahasa sudah jelas bahwa Charge Card berbeda dengan Credit Card. Jika Charge Card adalah bukan bersifat memberi pinjaman namun hanya memberi suatu jasa dengan dibebankan ongkos/imbalan seharga tertentu. Sedangkan Credit Card adalah bersifat memberi pinjaman yang didasarkan pada kepercayaan.
Namun demikian, menurut terminology seringkali Charge Card disamakan dengan Credit Card. Prof.Dr. Abdullah al-Mushlih dan Prof. Dr. Shalah ash-Shawi dalam jurnal yang berjudul Hukum Kartu Kredit Dalam Jual Beli menganggap Charge Card sebagai salah satu varian dari Credit Card yaitu kartu kredit yang tidak dapat diperbaharui. Adapun varian lainnya adalah Revolving Credit Card yaitu kartu kredit yang dapat diperbaharui.
Lebih rinci dalam jurnalnya, Prof. Dr. Abdullah al-Mushlih dan Prof. Dr. Shalah ash-Shawi mengungkapkan bahwa yang menonjol dari charge card adalah diharuskannya menutup total dana yang ditarik secara leng-kap dalam waktu tertentu yang diperkenankan, atau sebagian dari dana tersebut. Biasanya waktu yang diperkenankan tidak lebih dari tiga puluh hari, namun terkadang bisa mencapai dua bulan. Kalau pihak pembawa kartu terlambat membayarnya dalam waktu yang telah ditentukan, ia akan dikenai denda keterlam-batan. Dan kalau ia menolak membayar, keanggotaannya dicabut, kartunya ditarik kembali dan persoalannya diangkat ke pengadilan.
Sedangkan pada Credit Card Pemilik kartu ini diberikan pilihan cara menutupi semua tagihannya secara lengkap dalam jangka waktu yang ditoleransi atau sebagian dari jumlah tagihannya dan sisanya diberikan dengan cara ditunda, dan dapat diikutkan pada tagihan berikut-nya. Bila ia menunda pembayaran, ia akan dikenakan dua macam bunga: Pertama bunga keterlambatan, kedua bunga dari sisa dana yang belum ditutupi. Kalau ia berhasil menutupi dana tersebut dalam waktu yang ditentukan, ia hanya terkena satu macam bunga saja, yaitu bunga penundaan pembayaran. Dana yang ditarik tidak akan terbatas bila pemiliknya terus saja melunasi tagihan beserta bunga kartu kreditnya secara simultan.

C. Konsep Syariah Chage Card menurut Fatwa DSN No. 42/DSN-MUI/V/2004.
Berdasarkan fatwa MUI No.42/SDN-MUI/V/2004, akad yang digunakan pada produk Syariah Charge Card adalah sebagai berikut:
1. Untuk transaksi pemegang kartu melalui merchant, akad yang digunakan adalah akad kafalah wal ijarah.
2. Untuk transaksi pengambilan uang tunai digunakan akad qard wal ijarah.



Selain itu, dalam fatwa tersebut juga diatur ketentuan dan batasan syariah yaitu:
1. Tidak boleh menimbulkan riba.
2. Tidak digunakan untuk transaksi objek yang haram atau maksiat.
3. Tidak mendorong israf (pengeluaran yang berlebihan) antara lain dengan cara menetapkan pagu.
4. Tidak mengakibatkan utang yang tak pernah lunas.
5. Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan financial untuk melunasi pada waktunya.
Adapun mengenai fee yang dibebankan kepada pemegang kartu terdiri dari:
1. Iuran Keanggotaan (membership)
Penerbit kartu boleh menerima iuran keanggotaan termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan izin pengunaan fasilitas kartu
2. Merchant Fee (ujrah)
Penerbit kartu boleh mengambil fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan, pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al dayn)
3. Fee Penarikan Uang Tunai
Penerbit kartu boleh mengambil fee penarikan uang tunai sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan.
Selain itu, Penerbit Kartu dapat mengenakan Denda Keterlambatan pembayaran (late Charge), dan Denda karena melampaui pagu (overlimit charge) tanpa seizin Penerbit Kartu. Dana yang berasal dari denda tersebut diakui sebagai dana sosial.

D. Landasan Syariah yang Digunakan
Dalam fatwa tersebut, MUI menggunakan sejumlah Ayat Alqur’an, Hadist dan Pendapat Fuqaha sebagai landasan syariah dalam memberikan fatwa halal penggunaan Syaria Charge Card.
1. Penggunaan prinsip Kafalah (penjaminan) dalam transaksi charge card disandarkan pada dalil:
a. Hadis Nabi Riwayat Bukhari dari Salamah bin Al-Akwa;
“telah dihadapkan kepada rasulullah saw jenazah seorang laki-laki untuk dishalatkan. Rasulullah bertanya; ‘Apakah ia mempunyai hutang?’ Sahabat menjawab; ‘Tidak’ Maka beliau menshalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi jenazah lain. Rasulullah pun bertanya; ‘Apakah ia mempunyai hutang?’ Mereka menjawab; ‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Salatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri tidak mau menshalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata. ‘Saya menjamin hutangnya, ya Rasulullah’. Maka Rasulullah pun menshalatkannya jenazah itu”
b. Hadis Nabi riwayatkan Abu Daud, Trimizi dan Ibn Hibban:
“Za’im (penjamin) adalah gharim (orang yang menanggung).”
c. Pendapat Fuqaha; antara lain dalam Kitab Mughni al-Muhtaj, jilid II:201-202:
“(Hal yang dijamin) yaitu utang (disiyaratkan harus berupa hak yang telah terjadi) pada saat akad. Oleh karena itu, tidak sah menjamin utang yang belum menjadi kewajiban ... (Qaul qadim ---Imam al-Syafi’i -- menyatakan sah penjaminan terhadap utang yang akan menjadi kewajiban), seperti harga barang yang akan dijual atau sesuatu yang akan diutangkan. Hal itu karena hajat. – kebutuhan orang –terkadang mendorong adanya penjaminan tersebut.
Hadis nabi dan pendapat fuqaha tersebut diatas, menjadi sandaran MUI dalam penggunaan akad Kafalah dalam transaksi Syariah Cahrge Card.
2. Penggunaan Prinsip Ijarah disandarkan pada dalil:
a. QS. Yusuf (12):72:
“Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala Raja: dan barang siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.
b. Hadis Nabi riwayat Abu Daud dari Sa’d Ibn Abi Waqqash, ia berkata:
“Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.”
c. Hadis riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w, bersabda:
“Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya”
Selain itu, MUI juga menggunakan sejumlah dalil-dalil sebagai landasan dalam memberikan ketentuan batasan syariah dalam penggunaan Syariah Charge Card diantara :
• QS. Al-Furqan (25):67:
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) ditengah-tengah diantara yang demikian”
• QS, AL-Isra’ (17):26-27:
“ ... Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”
Kedua ayat tersebut diatas, jelas sekali terlihat bahwa Allah melarang umat islam untuk membelanjakan harta secara berlebih-lebihan dan melakukan pemborosan karena hal tersebut merupakan sifat syaitan. Oleh karena itu, dalam produk Syariah Charge Card diharuskan adanya penetapan pagu untuk menghindari adanya penggunaan secara berlebihan.
Adapun batasan syariah yang lain yang tertuang dalam fatwa MUI mengenai Syariah Charge Card adalah tidak boleh menimbulkan riba dan melakukan transaksi atas barang-barang yang haram dan maksiat. Ketentuan ini disandarkan pada dalil QS. Al-Baqarah (2):275:
“Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang-orang yang kemasukan syaitan lantaran(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.”



Didalam fatwa ini, juga terdapat penggunaan Kaidah Fiqih diantaranya:
1. “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang melarangnya”
2. “Keperluan dapat menduduki posisi darurat”
Dari dalil-dalil yang digunakan diatas, jelas sekali bahwa penggunaan syariah charge card sesuai dengan syariah.

E. Kelemahan Fatwa DSN No.52/DSN-MUI/V/2004 tentang Syariah Charge Card

Atas fatwa yang dikeluarkan oleh SDN mengenai Syariah Charge Card terdapat kelemahan yang akan mengaburkan penerapan prinsip syariah atas produk tersebut yaitu dimungkinkannya pemakaian melampaui pagu (overlimit). Dengan dibolehkannya penerbit kartu mengenakan biaya dengan karena melampaui pagu, berarti memberi ruang baru penerbit kartu untuk menerapkan sistem teknologi penggunaan syariah charge card yang memungkinkan pemegang kartu untuk melakukan transaksi yang nilainya melebihi pagu yang telah disepakati. Ini tentu saja tidak sejalan dengan ketentuan “tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf) . Hal ini tentu saja akan bertentangan dengan dalil Al-Qur’an Surah Al-Furqan (67) dan AL-Isra’ 26-27, yang secara tegas melarang manusia dari perbuatan pemborosan atau menghambur-hamburkan harta.

F. Penutup
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa syariah charge card sesuai dengan prinsip syariah dengan ketentuan dan batasan:
1. Tidak boleh menimbulkan riba
2. Tidak digunakan untuk transaksi objek yang haram atau maksiat.
3. Tidak mendorong israf (pengeluaran yang berlebihan) antara lain dengan cara menetapkan pagu.
Namun demikian, dalam fatwa yang ditetapkan oleh DSN tersebut diatas, terdapat celah yang memungkinkan penerbit syariah charge card melakukan ketentuan yang melanggar prinsip-prinsip syariah seperti adanya transaksi yang berlebihan dan pembebanan biaya yang memberatkan pemegang kartu.













Referensi:

Al-Qur’an
Al-Hadist
Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI-Edisi Revisi Tahun 2006, DSN MUI –BI, 2006
Abu Muawiyah, Masalah At-Tawarruq, (http://al-atsariyyah.com/?p=537 : 15 December 2008.
Nibra Hosen, Tawarruq, http://nibrahosen.multiply.com/journal/item/21/Tawarruq:15 Februari 2008.
Zulkarnain bin Muhammad Sunusi, Jual Beli Dengan Cara Kredit, http://groups. yahoo.com/ group/nashihah/ message/41, 21 Desember 2008.
Adiwarman Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, Karim Business Consulting, 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar