Jumat, 19 November 2010

FIQIH SIYASAH DALAM KAJIAN

I. Pendahuluan
a. Latar Belakang
Kajian fiqih siyasah terus berkembang seiring perkembangan dunia politik yang semakin pesat dengan munculnya isu-isu politik mutakhir, seperti demokrasi, civil society, dan hak asasi manusi. Ditambah lagi dengan isu-isu pemikiran seperti sekularisme, liberalisme dan sosialisme yang mesti mendapat respon dari Islam. Perkembangan tersebut tentunya menghadirkan banyak pemahaman-pemahaman baru yang dikembangkan oleh para tokoh fiqih siyasah yang menciptakan sejumlah perbedaan pemikirinan tentang konsep fiqih siyasah dimaksud.
Untuk melakukan kajian tentang fiqih Siyasah secara luas dan mendalam dalam hubungannya sebagai ilmu untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul seiring perkembangan zaman, tentunya harus memahami secara benar tentang konsep dasar fiqih siyasah dari berbagai sudut pandang. Oleh karena itu, penulis merasa penting mengangkat masalah kajian Fiqih Siyasah dalam sebuah makalah yang berjudul “Fiqih Siyasah Dalam Kajian”
b. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian fiqih Siyasah baik secara etimologi maupun terminologi Ulama.
2. Apa saja yang menjadi objek kajian Fiqih Siyasah
3. Metode mempelajari Fiqih Siyasah

II. Pembahasan
a. Pengertian Fiqih Siyasah
Istilah Fiqih Siyasah merupakan tarkib idhafi atau kalimat majemuk yang terdiri dari dua kata, yakni fiqih dan siyasah. Secara etimologi, fiqih merupakan bentuk masdhar (gerund) dari tashrifan kata faqiha-yafqahu-fiqhan yang berarti pemahaman yang mendalam dan akurat sehingga dapat memahami tujuan ucapan dan atau tindakan tertentu. Sedangkan secara terminologi, fiqih lebih populer didefinisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara’yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci. (Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada; 2008).
Sementara itu secara etimologi, mengenai asal kata siyasah terdapat beberapa pendapat yang berbeda dikalangan ahli fiqih. Pertama, sebagaimana dianut Al Maqrizy mengatakan bahwa kata siyasah berasal dari bahasa mongol yakni dari kata yasah yang mendapat imbuhan sin berbaris kasra diawalnya sehingga dibaca siayasah. Pendapat tersebut didasarkan pada sebuah kitab undang-undang milik Jenghis Khan yang berjudul ilyasa yang berisi panduan pengelolaan negara dan berbagai bentuk hukuman berat bagi pelaku pindak pidana tertentu. Kedua, sebagaimana yang dianut Ibn Taghri Birdi, Siyasah berasal dari campuran dari tiga bahasa, yakni bahasa Persia, Turki dan Mongol. Partikel Si dalam Bahasa Persia berarti 30, yasa dalam bahasa Turki dan Mongol berarti larangan dan karena itu ia dapat juga dimaknai sebagai hukum atau aturan. Ketiga, sebagaimana dianut Ibnu Manzhur menyatakan siyasah berasal dari Bahasa Arab, yakni bentuk mashdar dari tashrifan kata sasa-yasusu-siyasatan, yang semula berarti mengatur, memelihara, atau melatih binatang, khususya kuda. (Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada; 2008).

Adapun menurut Terminologi Ulama, pengertian fiqih siayasah adalah sebagai berikut:
1. Menurut Ahmad Fathi, fiqih siyasah adalah Pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan ketentuan syara (Ahmad Fathi Bahantsi dalam al-siyasah al-jinaiyyah fi al-syari\'at al-Islamiyah).
2. Menurut Ibnu\'Aqil, dikutip dari pendapat Ibnu al-Qoyyim, bahwa fiqh siyasah adalah Perbuatan yang membawa manusia lebih dekat pada kemalahatan (kesejahteraan) dan lebih jauh menghindari mafsadah (keburukan/ kemerosotan), meskipun Rasul tidak menetapkannya dan wahyu tidak membimbingnya.
3. Menurut Ibnu \'Abidin yang dikutip oleh Ahmad Fathi adalah Kesejahteraan manusia dengan cara menunjukkan jalan yang benar (selamat) baik di dalam urusan dunia maupun akhirat. Dasar-dasar siyasah berasal dari Muhammad saw, baik tampil secara khusus maupun secara umum, datang secara lahir maupun batin.
4. Menurut Abd Wahab al-Khallaf, Siyasah syar\'iyyah adalah pengurusan hal-hal yang bersifat umum bagi negara Islam dengan cara menjamin perwujudan kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (bahaya) dengan tidak melampaui batas-batas syari\'ah dan pokok-pokok syari\'ah yang bersifat umum, walaupun tidak sesuai dengan pendapat ulama-ulama Mujtahid.
Maksud Abd Wahab tentang masalah umum negara antara lain adalah ;
 Pengaturan perundangan-undangan negara.
 Kebijakan dalam harta benda (kekayaan) dan keuangan.
 Penetapan hukum, peradilan serta kebijakan pelaksanaannya, dan
 Urusan dalam dan luar negeri.
5. Menurut Abd al-Rahman Taj; siyasah syar\'iyah adalah hukum-hukum yang mengatur kepentingan negara dan mengorganisir urusan umat yang sejalan dengan jiwa syari\'at dan sesuai dengan dasar-dasarnya yang universal (kully), untuk merealisasikan tujuan-tujuannya yang bersifat kemasyarakatan, meskipun hal tersebuttidak ditunjukkan oleh nash-nash yang terinci dalam Al-Qur\'an maupun al-Sunnah.
6. Ibn Taimiyah menganggap bahwa norma pokok dalam makna kontekstual ayat 58 dan 59 surat al-Nisa [3], tentang dasar-dasar pemerintahan adalah unsur penting dalam format siyasah syar\'iyah. Ayat pertama berhubungan dengan penguasa, yang wajib menyampaikan amanatnya kepada yang berhak dan menghukumi dengan adil, sedangkan ayat berikutnya berkaitan dengan rakyat, baik militer maupun sipil, yang harus taat kepada mereka. Jika meminjam istilah untuk negara kita adalah; Penguasa sepadan dengan legislatif, yudikatif dan eksekutif (trias politika)dan rakyat atau warga negara.
7. Sesuai dengan pernyataan Ibn al-Qayim, siyasah syar\'iyah harus bertumpu kepada pola syari\'ah. Maksudnya adalah semua pengendalian dan pengarahan umat harus diarahkan kepada moral dan politis yang dapat mengantarkan manusia (sebagai warga negara) kedalam kehidupan yang adil, ramah, maslahah dan hikmah. Pola yang berlawanan dari keadilan menjadi dzalim, dari rahmat menjadi niqmat(kutukan), dari maslahat menjadi mafsadat dan dari hikmah menjadi sia-sia.




b. Ruang Lingkup objek kajian Fiqih Siyasah
Setiap ilmu mempunyai objek dan metode, maka kalau kita membicarakan suatu ilmu haruslah mengetahui apa objeknya , luas lapangan pembicaraan, bahasan dan metodenya. Fiqih siyasah adalah ilmu yang otonom sekalipun bagian dari ilmu fiqih. (Dr. J. Suyuthi Pulungan:1993). Selanjutnya, Hasbi Ash Shiddieqy sebagaimana dikutip Dr.J. Suyuthi Pulungan (1993, hal.27), mengungkapkan bahwa bahasan ilmu fiqih mencakup individu, masyarakat dan Negara, meliputi bidang-bidang ibadah, muamalah, kekeluargaan, perikatan, kakayaan, warisan, criminal, peradilan, acara pembuktian, kenegaraan dan hukum-hukum internasional, seperti perang, damai dan traktat.
Objek fiqh siyasah menjadi luas, sesuai kapasitas bidang-bidang apa saja yang perlu diatur, seperti peraturan hubungan warga negara dengan lembaga negara, hubungan dengan negara lain, Islam dengan non Islam ataupun pengatuaran-pengaturan lain yang dianggap penting oleh sebuah negara, sesuai dengan ruang lingkup serta kebutuhan negara tersebut.
Dr. J. Suyuthi Pulungan (1993) mengungkapkan tiga pendapat tokoh tentang bidang-bidang fiqih siyasah. Pertama, Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam al-Sulthaniyat membahas bidang siyasat dusturiyat (siyasah perundang-undangan), siyasat maliyat (siyasat keuangan), siyasat qadhaiyat (siyasah peradilan), siyasat harbiyat (siyasat peperangan), dan siyasat idariyat (siyasah administrasi).
Kedua, Ibn Taimiyah dalam kitabnya Al-Siyasatal Syariat fi Ishlah al Ra’i wa al-raiyat membahas siyasat dusturiyat, siyasat idariyat dan siyasah maliyat. Ketiga, Abdul wahab khalaf dalam bukunya Al-Siyasat Al-Syariyat hanya membahas tiga bidang saja yaitu siyasat dusturiyat, siayasar kharijiyat (siyasah hubungan luar negeri), dan siyasat maliyat. Keempat, Prof. DR.T.M Hasbi Ash Shiddieqy membagi bidang fiqih siyasah kepada delapan bidang, yaitu siyasah dusturiyah, syariyah, siyasah Tasyri’iyah syariah, siyasah qadhoiyah syariah, siyasah maliyah syariah, siyasah idariyah syariah, siyasah khorijiyah syariah/siyasah dauliyah, siyasah tanfiedziyah syariah, siyasah harbiyah syariah.
Sementara itu, Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada (2008, hal 16) juga mengemukakan pendapat Abdurahman Taj yang mengklasifikasikan bidang kajian fiqih siyasah menjadi tujuh macam , yakni (1) siyasah dusturiyyah, (2) Siyasah Tasyriiyyah, (3) siyasah Qadhaiyyah, (4) Siyasah Maliyyah, (5) Siyasah Idariyyah, (6) Siyasah Tanfidziyyah, dan (7) Siyasah Kharijiyyah.
Selanjutnya, Dr. J. Suyuthi Pulungan (1993) mempersempit pembidangan yang beragam tersebut kepada empat bidang saja yaitu:
1. Bidang fiqih siyasah dusturiyah mencakup siyasah tasyri’iyah syariah (siyasah penetapan hukum yang sesuai dengan syariat), siyasah qadhaiyah syariah (siyasah peradilan yang sesuai menurut syariah), siyasah idariyah syariah (siyasah administrasi yang sesuai dengan syariat), dan siyasah tanfiedziyah syariah (siayasah pelaksanaan syariat).
2. Bidang fiqih siyasah dauliyah/kharijiyah, yaitu siyasah yang berhubungan dengan pengaturan pergaulan antara negara-negara islam dengan negara-negara bukan islam, tata cara pengaturan pergaulan warga negara muslim dengan warga negara non muslim yang ada dinegara islam, hukum dan peraturan yang membatasi hubungan negara islam dengan negara-negara lain dalam situasi damai dan perang.s
3. Bidang fiqih siyasah maliyah adalah siyasah yang mengatur tentang hak-hak orang-orang miskin, mengatur sumber-sumber mata air (irigasi) dan perbankan.
4. Bidang fiqih siyasah harbiyah yaitu siyasah yang mengatur tentang peperangan dan aspek-aspek yang berhubungan dengannya, seperti perdamaian.

c. Metoda mempelajari fiqh siyasah
Metoda yang dipergunakan untuk mempelajari fikih siyasah adalah ushul fiqh dan kaidah fiqhiyyah. Hal ini, sama dengan fiqh-fiqh lain. Penerapan dalil kulliy (umum) memiliki kandungan universal tidak terikat oleh dimensi ruang dan waktu. Metode tersebut tentunya harus dilanjutkan sebagai aplikasi yang dapat menyantuni masalah yang ramah mempertimbangkan kondisi dan situasi (maslahah). Membumi karena mampu mengatasi problim kemanusiaan yang bermoral agama (secara-horisontal), secara vertikal menyesuaikan nilai-nilai ketuhanan. Menggunakan metoda ushul fiqh dan qawa\'id al-fiqhiyyah dalam bidang siyasah syar\'iyyah (fiqh siyasah) lebih penting dibanding dengan fiqh-fiqh lain, karena problim siyasah hampir tidak diatur secara terperinci oleh syari\'at Al-Qur\'an maupun al-Hadits. Misalnya Abdul Wahab Khallaf, memandang ayat-ayat Al-Qur\'an yang secara implisit memiliki konteks siyasah (problim politik) hanya beberapa ayat. 10 ayat berhubungan dengan fiqh dustury, 25 ayat dengan dawliy dan 10 ayat lagi berhungan dengan fiqh maliy. Mirip halnya dengan fiqh munakahat ataupun muamalah yang menggunakan metoda secara langsung kepada al-Qur\'an dan al-Hadits. Baru -menggunakn pendektan ijtihad.
Metode yang digunakan dalam fiqih siyasah tidak berbeda dengan metode yang digunakan dalam mempelajari fiqih pada umunya yaitu metode usul fiqih dan metode kaidah fiqih. Keduanya telah teruji keakuratannyad alam menyelesaikan berbagai masalah. Metode usul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih memiliki banyak alternatif untuk dihadapkan dengan masalah-masalah yang timbul. Metode tersebut adalah qiyas, istihsan, ‘uruf, maslahat mursalat, istishab, yang dikenal dengan istilah mashadir al tasyri’ al islam fi ma la nashasha fih (sumber penetapan hukum islam yang tidak berasal dari nash) dan kaidah-kaidah fiqih. Metode ini memberikan kebebasan berfikir bagi penggunanya. Tapi ia harus merujuk kepada dalil-dalil kulli (umum) yang terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah. Dalil-dalil umum dijadikan sebagai alat kontrol terhadap ketetapan produk berpikir. (Dr. J. Suyuthi Pulungan; 1993, hal.30).

1. Qiyas (Analogi)
Qiyas adalah penjelasan hokum terhadap sesuatu hal yang tidak ada penjelasan nash atau hukumnya dengan mengaitkannya dengan sesuatu hal yang ada nash hukumnya dalam Al qur’an dan Sunnah karena ada persamaan ‘illat (sebab) hokum pada kedua hal tersebut. Dengan ungkapan lain qiyas mempersamakan suatu masalah yang hukumnya tidak disebut dalam nash dengan suatu masalah yang ada penjelasan hukumnya dalam nash, karena ada persamaan illat hukum pada keduanya.
Jadi kias dapat diterapkan dalam menetapkan hukum suatu masalah yang tidak adanya nash hukumnya bila ada persamaan illat hokum dengan suatu masalah yang jelas hukumnya dalam nash. Hal ini hanya dapat diketahui dengan logika, yaitu mengukur dan membandingkan antara masalah yang jelas hukumnya dengan masalah yang tidak ada ketetapan hukumnya, dalam hal illat hukumnya apakah sama atau tidak.
Contoh, Nabi saw melakukan dakwah islamiyyah dengan mengirimkan beberapa surat pada penguasa tetangga negara, untuk diajak menjalankan ajaran tawhid. Upaya tersebut diujudkan dalam bentuk ekspansi ke negara-negara tetangga oleh \'Umar ibn Khattab ra dan khalifah-khalifah sesudahnya.
2. Istihsan (Memandang lebih baik)
Istihsan secara sederhana dapat diartikan sebagai berpaling dari ketetapan dalil khusus kepada ketetapan dalil umum. Dengan kata lain, meninggalkan suatu dalil, beralih kepada dalil yang lebih kuat, atau membandingkan satu dalil dengan dalil lain untuk menetapkan hukum. Hal ini dilakukan untuk memilih yang lebih baik demi memenuhi tuntutan kemaslahatan dan tujuan syariat.
Sebagai contoh menurut sunnah tanah wakaf tidak boleh dialikan kepemilikannya dengan dijual, atau diwariskan atau dihibahkan. Tapi jika jika tanah wakaf tersebut tidak difungsikan sesuai dengan tujuan wakaf, ini berarti mubazir. Al-Qur’an melarang perbuatan mubazir. Untuk kasus seperti ini bisa diterapkan metode istihsan untuk mengefektifkan tanah wakaf tersebut sesuai dengan tujuan wakaf.
Metode istihsan dapat diterapkan untuk menyelesaikan, antara lain, masalah konflik kepentingan antara dua pihak, yaitu kepentingan yang jangkauannya sempit dan kepentingan yang skopnya luas. Contoh, pemelikan tanah oleh seseorang harus dilindungi, sementara masyarakat menghendaki agar tanah itu dibebaskan dari pemiliknya untuk dijadikan bagi kepentingan umum, seperti membangun jalan umum, atau sarana pendidikan, sarana kesehatan, dan sebagainya.
3. Mashlahah mursalah
Kata mashlahah berarti kepentingan hidup manusia. Kata Mursalah sesuatu yang tidak ada ketentuan nash syariat yang menguatkan atau membatalkanya. Maslahah mursalah yang disebut juga istihlah secara terminologis menurut ulama-ulama usul, adalah maslahah yang tidak ada ketetapannya dalam nash yang membenarkannya atau membatalkannya. Metode ini adalah salah satu cara dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah yang ketetapannya tidak sama sekali disebutkan dalam nash dengan pertimbangan untuk mengatur kemaslahatan hidup manusia. Prinsipnya menarik manfaat dan menghindarkan kerusakan dalam upaya memelihara tujuan hukum yang lepas dari ketetapan dalil syara.
Maslahah Mursalah dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum bila: 1)masalah itu bersifat esensil atas dasar penelitian, observasi dan melalui analisa dan pembahasan yang mendalam, sehingga penetapan hukum terhadap masalah benar-benar member manfaat dan menghindarkan mudharat, 2)Masalah itu bersifat umum bukan kepentinga perorangan, tapi bermanfaat untuk orang banyak, 3)Masalah itu tidak bertentangan dengan nash dan terpenuhinya kepentingan hidup manusia serta terhindar dari kesulitan.
4. Istishab
Istishab adalah menjadikan ketetapan hukum yang ada tetap berlaku hingga ada ketentuan dalil yang merubahnya. Artinya mengembalikan segala sesuatu kepada ketentuan semula selama tidak ada dalil nash yang mengharamkannya atau melarangnya. Seperti berbagai hukum jenis hewan, benda, tumbuh-tumbuhan, makanan, minuman dan amal perbuatan yang tidak ada dalil syara yang menetapkan hukumnya, hukumnya adalah mubah atau halal. Demikian juga pertukaran barang dan jasa yang sering terjadi dalam kehidupan manusia. Jika tidak ada dalil syara yang melrangnya dan tidak ada bukti autentik tentang terjadinya perjanjian tukar menukar barang dan jasa maka hukumnya mubah. Karena segala ciptaan Allah dialam semesta seluruhnya untuk masnusia agar dapat diambil manfaat dan hukumnya mubah. Allah menyatakan; Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu. (QS Al Baqarah;29). Dan Dia menundukkan untuk kamu apa yang ada dilangit dan apa yang ada dibumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada Nya (QS Al- Jatsiyah)
5. ‘Urf
Kata ‘Urf berarti adat istiadat atau kebiasaan. ‘Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi tradisinya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, dan atau meninggalkan sesuatu. Pengertian ini dinamakan juga adat. Para ulama juga tidak membedakan antara ‘urf dan adat. Sebab definisi adat adalah apa yang telah dikenal oleh manusia dan menjadi suatu kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Fiqih membagi ‘urf menjadi dua unsure yaitu ‘urf shahih (adat yang baik) dan ‘urf fasid (adat yang merusak). ‘Urf shahih adalah apa yang telah dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara, tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula membatalkan yang wajib. Sedang ‘Urf fasid adalah apa yang telah dikenal oleh manusia, tetapi bertentangan dengan syara’ atau menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib.
Bila ada suatu kejadian atau kebiasaan dalam kehidupan masyarakat dapat dikategorikan kedalam definisi diatas, maka ia dapat ditetapkan sebagai sumber penetapan hukum atau mengakui kelangsungannya sepanjanga ia tidak bertentangan dengan nash dan jiwa syariat. Dalam konteks ini kaidah mengatakan;”Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai sumber hukum”
6. Kaidah-kadiah fiqih
Kaidah-kadiah fiqih yang dapat digunakan untuk mempelajari dan mengembangkan siyasah antara lain:
• “Perubahan hukum dengan sebab berubahnya zaman, tempat, situasi, adat dan niat”
• “Kemaslahatan yang umum didahulukan atas kemaslahatan yang khusus”
• “Kesulitan membawa kepada kemudahan”
• “Tindakan atau kebijaksanaan kepala Negara terhadap rakyat tergantung kepada kemaslahatan.”
• “Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya (secara sempurna) janganlah ditinggalkan seluruhnya.”
Kaidah-kaidah tersebut menegaskan bahwa suatu kebijaksanaan, keputusan, peraturan, perundang-undangan atau hukum di bidang muamalah yang ditetapkan pada suatu waktu dan tempat tertentu dapat diubah atau diganti oleh pemegang kekuasaan/ pemerintah. Perubahan perlu apabila ia tidak lagi relevan dengan realpolitic. Sebab perubahan zaman, tempat, situasi dan kultur dengan suatu peraturan dan undang-undang yang lebih sesuai dengan waktu berakhir. Perubahan atau pergantian tentu tidak asal berubah saja. Tetapi perubahan yang tetap berorientasi kepada nilai-nilai dan jati diri manusia dan kemanusian. Muatannya tidak bertentangan secara subtansial dengan nash-nash syariat yang bersifat universal pada setiap zaman dan tempat. Ia juga harus bersifat transparan, sehingga dapat mengantisipasi perkembangan zaman yang dihadapi dan mampu menampung aspirasi masyarakat bagi kemajuan social budaya, ekonomi dan politik untuk mewujudkan kemaslahatan umat.

III. Penutup
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam mendefinisikan fiqih siyasah, para tokoh memiliki sejumlah pendapat yang berbeda baik secara etimologis maupun terminologis. Dari sejumlah definisi tersebut, secara umum menyatakan bahwa fiqih siyasah secara etimologis berarti pemahaman yang mendalam dan akurat dalam pengelolaan negara berdasarkan aturan dan hukum. Adapun menurut terminologi Ulama pada umunya menyatakan tentang upaya menggapai kesejahteraan masyarakat.
2. Objek kajian fiqih siyasah sangat beragam dan berbeda antara satu tokoh dengan tokoh lainnya, dimana secara garis besar mencakup bidang fiqih siyasah dusturiyah , bidang fiqih siyasah dauliyah, bidang fiqih siyasah maliyah dan bidang fiqih siyasah harbiyah.
3. Metode dalam mempelajari fiqih siyasah sama dengan mempelajari fiqih secara umum yaitu metode usul fiqih dan kaidah fiqiyah yang meliputi qiyas, istihsan, ‘uruf, maslahat mursalat dan istishab.











Daftar Pustaka
Alqur’an
As- Sunnah
Ahmad Saebani, Ahmad, Fiqih Siyasah; Pengantar Ilmu Politik Islam, Pustaka Setia, Bandung;2008
Djazuli, Prof. Dr. H.A, Kaidah-Kaidah Fiqih, Prenada Media Group, Jakarta;2007
Ibnu Syarif, Mujar dan Zada, Khamami, Fiqih Siyasah; Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Erlangga, Jakarta;2008
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih (terjemahan), Rineka Cipta, Jakarta;2005
Pulungan, Dr. J. Suyuthi, Fiqih Siyasah; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Rajawali Pers, Jakarta;1993
Salim, Prof, Dr. Abdul Mui, Fiqih Siyasah; Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an, Rajawali Pers,Jakarta,2002
Aziz, F, Aminudin, Fiqih Siyasah (Politik Islam) www.aminazizcenter.com/2009
Kholid Syamhudi, LC, Fiqih Politik, www.blogcatalog.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar