Jumat, 31 Juli 2009

FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL NO.42/DSN-MUI/V/2004
TENTANG SYARIAH CHARGE CARD
DALAM PANDANGAN YURISPRUDENSI


A. Pendahuluan

Islam sebagai agama yang sempurna telah memberi aturan-aturan secara menyeluruh dalam rangka mengatur kegiatan manusia dimuka bumi. Aturan-aturan itu dengan indah dicantumkan dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Rasulullah dengan Sunnahnya. Dengan demikian, tidak ada satu sisipun dari kehidupan manusia yang lepas dari aturan Islam, baik masalah ibadah maupun muamalah.
Salah satu masalah muamalah yang mendapat perhatian cukup besar dalam Islam adalah masalah ekonomi. Sebagai agama yang sempurna, maka seyogyanya Islam dapat memberikan pedoman hidup secara menyeluruh bagi manusia dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Begitu banyak firman Allah yang diturunkan untuk mengatur manusia tentang bagaimana cara menjalankan kegiatan ekonomi dengan baik yang diridhoi oleh Allah SWT. Salah satu hal yang paling ditekankan oleh Allah SWT adalah masalah Riba, sebagaimana firmannya:
” ..... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.....” (Al Baqarah (2) :275)

Oleh karena itu, dalam melaksanakan kegiatan muamalah dibidang ekonomi, seorang muslim harus menghindari praktek-praktek ribawi.
Namun terkadang, ada kalanya terdapat praktek-praktek muamalah yang dinilai oleh sebagian pihak tidak sesuai dengan prinsip syariah namun pihak lain dianggap sesuai dengan syariah dan telah dikeluarkan fatwa halal oleh Majelis Ulama Indonesia. Salah satunya adalah kegiatan muamalah dibidang ekonomi dengan menggunakan charge card.

B. Pembahasan
Pengertian Charge Card
Secara etimologis, charge Card terdiri dari dua suku kata yaitu:
1. Chartes, χάρτης (a sheet ('chart') of writing-material (as to be scribbled over)) sepotong material yang tertera tulisan.
2. Charge adalah ongkos muatan, harga
Dengan demikian, secara bahasa, Charge Card dapat diartikan sebagai sebuah potongan material kecil yang bertulisan yang digunakan untuk proses tertentu yang dengannya dibebankan biaya/harga tertentu.
MUI dalam fatwanya menambahkan kata Syariah didepannya sehingga menjadi Syariah Charge Card yang diartikan sebagai sebagai fasilitas kartu talangan yang dipergunakan oleh pemegang kartu (hamil al-bithaqah) sebagai alat bayar atau pengambilan uang tunai pada tempat-tempat tertentu yang harus dibayar lunas kepada pihak yang memberikan talangan (mushdir al-bithaqah) pada waktu yang telah ditetapkan.


Perbedaan Charge Card dengan Credit Card
Perbedaan antara Syariah Charge Card dengan Kredit Card yaitu terletak pada penggunaan kata Charge dan Credit. Kata Credit berasal dari bahasa Latin “Credere’ yang berarti loan, debt, what is lent atau “creditum” yang berarti berati lend to, make loans, give credit; trust, entrust; commit . Sedangkan kata Charge yang berarti ongkos muatan , harga.
Dengan demikian, dari pengertian secara bahasa sudah jelas bahwa Charge Card berbeda dengan Credit Card. Jika Charge Card adalah bukan bersifat memberi pinjaman namun hanya memberi suatu jasa dengan dibebankan ongkos/imbalan seharga tertentu. Sedangkan Credit Card adalah bersifat memberi pinjaman yang didasarkan pada kepercayaan.
Namun demikian, menurut terminology seringkali Charge Card disamakan dengan Credit Card. Prof.Dr. Abdullah al-Mushlih dan Prof. Dr. Shalah ash-Shawi dalam jurnal yang berjudul Hukum Kartu Kredit Dalam Jual Beli menganggap Charge Card sebagai salah satu varian dari Credit Card yaitu kartu kredit yang tidak dapat diperbaharui. Adapun varian lainnya adalah Revolving Credit Card yaitu kartu kredit yang dapat diperbaharui.
Lebih rinci dalam jurnalnya, Prof. Dr. Abdullah al-Mushlih dan Prof. Dr. Shalah ash-Shawi mengungkapkan bahwa yang menonjol dari charge card adalah diharuskannya menutup total dana yang ditarik secara leng-kap dalam waktu tertentu yang diperkenankan, atau sebagian dari dana tersebut. Biasanya waktu yang diperkenankan tidak lebih dari tiga puluh hari, namun terkadang bisa mencapai dua bulan. Kalau pihak pembawa kartu terlambat membayarnya dalam waktu yang telah ditentukan, ia akan dikenai denda keterlam-batan. Dan kalau ia menolak membayar, keanggotaannya dicabut, kartunya ditarik kembali dan persoalannya diangkat ke pengadilan.
Sedangkan pada Credit Card Pemilik kartu ini diberikan pilihan cara menutupi semua tagihannya secara lengkap dalam jangka waktu yang ditoleransi atau sebagian dari jumlah tagihannya dan sisanya diberikan dengan cara ditunda, dan dapat diikutkan pada tagihan berikut-nya. Bila ia menunda pembayaran, ia akan dikenakan dua macam bunga: Pertama bunga keterlambatan, kedua bunga dari sisa dana yang belum ditutupi. Kalau ia berhasil menutupi dana tersebut dalam waktu yang ditentukan, ia hanya terkena satu macam bunga saja, yaitu bunga penundaan pembayaran. Dana yang ditarik tidak akan terbatas bila pemiliknya terus saja melunasi tagihan beserta bunga kartu kreditnya secara simultan.

C. Konsep Syariah Chage Card menurut Fatwa DSN No. 42/DSN-MUI/V/2004.
Berdasarkan fatwa MUI No.42/SDN-MUI/V/2004, akad yang digunakan pada produk Syariah Charge Card adalah sebagai berikut:
1. Untuk transaksi pemegang kartu melalui merchant, akad yang digunakan adalah akad kafalah wal ijarah.
2. Untuk transaksi pengambilan uang tunai digunakan akad qard wal ijarah.



Selain itu, dalam fatwa tersebut juga diatur ketentuan dan batasan syariah yaitu:
1. Tidak boleh menimbulkan riba.
2. Tidak digunakan untuk transaksi objek yang haram atau maksiat.
3. Tidak mendorong israf (pengeluaran yang berlebihan) antara lain dengan cara menetapkan pagu.
4. Tidak mengakibatkan utang yang tak pernah lunas.
5. Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan financial untuk melunasi pada waktunya.
Adapun mengenai fee yang dibebankan kepada pemegang kartu terdiri dari:
1. Iuran Keanggotaan (membership)
Penerbit kartu boleh menerima iuran keanggotaan termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan izin pengunaan fasilitas kartu
2. Merchant Fee (ujrah)
Penerbit kartu boleh mengambil fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan, pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al dayn)
3. Fee Penarikan Uang Tunai
Penerbit kartu boleh mengambil fee penarikan uang tunai sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan.
Selain itu, Penerbit Kartu dapat mengenakan Denda Keterlambatan pembayaran (late Charge), dan Denda karena melampaui pagu (overlimit charge) tanpa seizin Penerbit Kartu. Dana yang berasal dari denda tersebut diakui sebagai dana sosial.

D. Landasan Syariah yang Digunakan
Dalam fatwa tersebut, MUI menggunakan sejumlah Ayat Alqur’an, Hadist dan Pendapat Fuqaha sebagai landasan syariah dalam memberikan fatwa halal penggunaan Syaria Charge Card.
1. Penggunaan prinsip Kafalah (penjaminan) dalam transaksi charge card disandarkan pada dalil:
a. Hadis Nabi Riwayat Bukhari dari Salamah bin Al-Akwa;
“telah dihadapkan kepada rasulullah saw jenazah seorang laki-laki untuk dishalatkan. Rasulullah bertanya; ‘Apakah ia mempunyai hutang?’ Sahabat menjawab; ‘Tidak’ Maka beliau menshalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi jenazah lain. Rasulullah pun bertanya; ‘Apakah ia mempunyai hutang?’ Mereka menjawab; ‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Salatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri tidak mau menshalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata. ‘Saya menjamin hutangnya, ya Rasulullah’. Maka Rasulullah pun menshalatkannya jenazah itu”
b. Hadis Nabi riwayatkan Abu Daud, Trimizi dan Ibn Hibban:
“Za’im (penjamin) adalah gharim (orang yang menanggung).”
c. Pendapat Fuqaha; antara lain dalam Kitab Mughni al-Muhtaj, jilid II:201-202:
“(Hal yang dijamin) yaitu utang (disiyaratkan harus berupa hak yang telah terjadi) pada saat akad. Oleh karena itu, tidak sah menjamin utang yang belum menjadi kewajiban ... (Qaul qadim ---Imam al-Syafi’i -- menyatakan sah penjaminan terhadap utang yang akan menjadi kewajiban), seperti harga barang yang akan dijual atau sesuatu yang akan diutangkan. Hal itu karena hajat. – kebutuhan orang –terkadang mendorong adanya penjaminan tersebut.
Hadis nabi dan pendapat fuqaha tersebut diatas, menjadi sandaran MUI dalam penggunaan akad Kafalah dalam transaksi Syariah Cahrge Card.
2. Penggunaan Prinsip Ijarah disandarkan pada dalil:
a. QS. Yusuf (12):72:
“Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala Raja: dan barang siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.
b. Hadis Nabi riwayat Abu Daud dari Sa’d Ibn Abi Waqqash, ia berkata:
“Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.”
c. Hadis riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w, bersabda:
“Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya”
Selain itu, MUI juga menggunakan sejumlah dalil-dalil sebagai landasan dalam memberikan ketentuan batasan syariah dalam penggunaan Syariah Charge Card diantara :
• QS. Al-Furqan (25):67:
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) ditengah-tengah diantara yang demikian”
• QS, AL-Isra’ (17):26-27:
“ ... Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”
Kedua ayat tersebut diatas, jelas sekali terlihat bahwa Allah melarang umat islam untuk membelanjakan harta secara berlebih-lebihan dan melakukan pemborosan karena hal tersebut merupakan sifat syaitan. Oleh karena itu, dalam produk Syariah Charge Card diharuskan adanya penetapan pagu untuk menghindari adanya penggunaan secara berlebihan.
Adapun batasan syariah yang lain yang tertuang dalam fatwa MUI mengenai Syariah Charge Card adalah tidak boleh menimbulkan riba dan melakukan transaksi atas barang-barang yang haram dan maksiat. Ketentuan ini disandarkan pada dalil QS. Al-Baqarah (2):275:
“Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang-orang yang kemasukan syaitan lantaran(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.”



Didalam fatwa ini, juga terdapat penggunaan Kaidah Fiqih diantaranya:
1. “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang melarangnya”
2. “Keperluan dapat menduduki posisi darurat”
Dari dalil-dalil yang digunakan diatas, jelas sekali bahwa penggunaan syariah charge card sesuai dengan syariah.

E. Kelemahan Fatwa DSN No.52/DSN-MUI/V/2004 tentang Syariah Charge Card

Atas fatwa yang dikeluarkan oleh SDN mengenai Syariah Charge Card terdapat kelemahan yang akan mengaburkan penerapan prinsip syariah atas produk tersebut yaitu dimungkinkannya pemakaian melampaui pagu (overlimit). Dengan dibolehkannya penerbit kartu mengenakan biaya dengan karena melampaui pagu, berarti memberi ruang baru penerbit kartu untuk menerapkan sistem teknologi penggunaan syariah charge card yang memungkinkan pemegang kartu untuk melakukan transaksi yang nilainya melebihi pagu yang telah disepakati. Ini tentu saja tidak sejalan dengan ketentuan “tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf) . Hal ini tentu saja akan bertentangan dengan dalil Al-Qur’an Surah Al-Furqan (67) dan AL-Isra’ 26-27, yang secara tegas melarang manusia dari perbuatan pemborosan atau menghambur-hamburkan harta.

F. Penutup
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa syariah charge card sesuai dengan prinsip syariah dengan ketentuan dan batasan:
1. Tidak boleh menimbulkan riba
2. Tidak digunakan untuk transaksi objek yang haram atau maksiat.
3. Tidak mendorong israf (pengeluaran yang berlebihan) antara lain dengan cara menetapkan pagu.
Namun demikian, dalam fatwa yang ditetapkan oleh DSN tersebut diatas, terdapat celah yang memungkinkan penerbit syariah charge card melakukan ketentuan yang melanggar prinsip-prinsip syariah seperti adanya transaksi yang berlebihan dan pembebanan biaya yang memberatkan pemegang kartu.













Referensi:

Al-Qur’an
Al-Hadist
Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI-Edisi Revisi Tahun 2006, DSN MUI –BI, 2006
Abu Muawiyah, Masalah At-Tawarruq, (http://al-atsariyyah.com/?p=537 : 15 December 2008.
Nibra Hosen, Tawarruq, http://nibrahosen.multiply.com/journal/item/21/Tawarruq:15 Februari 2008.
Zulkarnain bin Muhammad Sunusi, Jual Beli Dengan Cara Kredit, http://groups. yahoo.com/ group/nashihah/ message/41, 21 Desember 2008.
Adiwarman Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, Karim Business Consulting, 2003.

Kamis, 30 Juli 2009

Tawarruq Dalam Perspektif Hukum Islam

A. Pendahuluan

Islam sebagai agama yang sempurna telah memberi aturan-aturan secara menyeluruh dalam rangka mengatur kegiatan manusia dimuka bumi. Aturan-aturan itu dengan indah dicantumkan dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Rasulullah dengan Sunnahnya. Dengan demikian, tidak ada satu sisipun dari kehidupan manusia yang lepas dari aturan Islam, baik masalah ibadah maupun muamalah.
Salah satu masalah muamalah yang mendapat perhatian cukup besar dalam Islam adalah masalah ekonomi. Sebagai agama yang sempurna, maka seyogyanya Islam dapat memberikan pedoman hidup secara menyeluruh bagi manusia dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Begitu banyak firman Allah yang diturunkan untuk mengatur manusia tentang bagaimana cara menjalankan kegiatan ekonomi dengan baik yang diridhoi oleh Allah SWT. Salah satu hal yang paling ditekankan oleh Allah SWT adalah masalah Riba, sebagaimana firmannya:
” ..... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.....” (Al Baqarah (2) :275)

Riba dianggap sebagai sebuah kegiatan ekonomi yang zalim yang jauh dari nilai-nilai keadilan. Oleh karena itu, Islam menganjurkan Umat manusia untuk meninggalkan praktek-praktek ribawi. Selain firman Allah SWT diatas, terdapat begitu banyak hadist Rasulullah yang melarang Manusia untuk melakukan kegiatan ribawi.
Sebagaimana firman Allah diatas, bahwa Allah telah menghalalkan jual beli sebagai suatu cara bagi manusia untuk menjalankan kegiatan ekonomi dengan baik dan di ridhoi Allah SWT. Namun demikian, kebutuhan ekonomi manusia kadangkala tidak dapat terpenuhi dengan kegiatan jual beli mengingat terkadang manusia tidak memerlukan barang melainkan uang tunai yang dapat digunakan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidup. Memang Islam telah memberi jalan kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan uang tunai dengan meminjam kepada orang berpunya dengan prisip qard (tanpa tambahan/bunga). Namun demikian. Masalah akan timbul ketika tidak ada orang yang bersedia memberikan pinjaman qard, disatu pihak seseorang sangat membutuhkan uang tunai untuk menjalankan kegiatan ekonomi mereka baik untuk konsumsi maupun produksi.
Untuk mendapatkan uang tunai tanpa melakukan cara ribawi, beberapa pihak yang melakukan Tawarruq. Namun demikian, transaksi Tawarruq menjadi perdebatan oleh beberapa pihak mengenai kehalalannya. Sejumlah pihak berpandangan bahwa Tawarruq sebagai sebuah kegiatan yang dibuat-buat sehingga unsur ribanya tidak tampak padahal esensinya adalah kegiatan ribawi. Dilain pihak, Tawarruq dianggap hal yang diperkenankan dalam Islam sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan uang tunai.
Masih diperdebatkannya kehalalan Tawarruq inilah yang menjadi dasar bagi penulis untuk membuat makalah yang berjudul “ Hukum Tawarruq Berdasarkan Kajian Fiqih Terpadu”



B. Definisi Tawarruq
Dalam Bahasa Arab, akar kata dari tawaruq adalah “wariq” yang artinya : simbol atau karakter dari perak (silver). Kata tawarruq ini di gunakan untuk mengartikan, mencari perak, sama dengan kata Ta allum, yang arti nya mencari ilmu, yaitu belajar atau sekolah. Kata Tawarruq dapat di artikan dengan lebih luas yaitu mencari uang tunai dengan berbagai cara yaitu bisa dengan mencari perak, emas atau koin yang lainnya. Secara literatur artinya adalah berbagai cara yang di tempuh untuk mendapatkan uang tunai atau likuditas. Istilah tawarruq ini di perkenalkan oleh Mazhab Hambali. Mazhab Shafi’i mengenal tawarruq dengan sebutan “zarnagah”, yang artinya bertambah atau berkembang. (Nibra Hosen : 2008)
Dalam Hukum Islam, tawarruq artinya adalah struktur yang dapat dilakukan oleh seorang mustawriq/mutawarriq yatiu seorang yang membutuh kan likuditas. Transaksi tawarruq adalah ketika seseorang membeli sebuah produk dengan cara kredit (pembayaran dengan cicilan) dan menjual nya kembali kepada orang ke tiga yang bukan pemilik pertama produk tersebut dengan cara tunai, dengan harga yang lebih murah. Ada 3 formasi dari tawarruq: (Nibra Hosen 2008)
1. Seseorang yang membutuhkan likuditas (uang tunai) membeli produk/barang/komoditi dengan cara kredit dan menjual nya kepada pihak lain dengan cara tunai, tanpa di ketahui oleh pihak pihak lain akan niat nya tersebut di atas.
2. Seseorang (mutawarriq) yang membutuh kan uang tunai, memohon untuk di berikan pinjaman uang, dari penjual, yang menolak untuk meminjamkan uang nya, tapi penjual tersebut berkeinginan untuk menjual barangnya dengan cara kredit dengan harga tunai, lalu mutawarriq tersebut dapat menjual kembali barang tersebut kepada orang lain dengan harga yang lebih rendah atau lebih tinggi.
Kedua formasi transaksi tawarruq ini dapat di terima dan di izinkan oleh para Ulama tanpa ada nya perdebatan.
3. Hampir sama dengan formasi no. 2, kecuali si penjual, menjual barangnya dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar kepada Mutawarriq, sebagai akibat dari pembayaran yang tertunda/dengan cicilan. Formasi ini masih diperdebatkan oleh para pakar Hukum ekonomi syariah.

Dalam dunia perbankan dewasa ini, Tawarruq diterapkan dalam bentuk yang telah dimodifikasi. Untuk menjalankan transaksi tawarruq, perbankan syariah melibatkan broker komoditi dalam penyediaan komoditi yang dijadikan sebagai obyek transaksi Tawarruq.


C. Perbedaan antara Tawarruq dan Inah
Letak perbedaan antar Tawarruq dengan Inah hanya pada tempat penjualan barang kembali. Kalau jual beli dengan cara Al-‘Inah penjualannya kembali kepada pihak penjual sedangkan Tawarruq penjualannya kepada pihak ketiga selain dari pihak penjual.
Akar kata dari inah adalah ayn (barang yang telah di beli) dapat menemukan jalan nya kembali kepada pemilik asalnya. Menurut kebanyakan dari para pakar Hukum Islam, barang yang di gunakan adalah sebuah alat untuk melakukan hilah, yaitu rekayasa untuk menghindar dari hal hal yang di larang, seperti riba. Sebagian besar Ulama tidak membolehkan transaksi Jual beli Inah dan hanya sedikit saja yang membolehkan. Diantara Ulama yang melarang Inah adalah Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal.
Salah satu dalil yang menjadi sandaran para Ulama yang melarang Inah adalah Hadist yang diriwayatkan Abu Huiroiroh ra:

“Jika kamu melakukan jual beli secara ‘inah, mengambil ekor sapi, rela dengan pertanian dan meninggalkan jihad, maka Alloh SWT akan melimpahkan kehinaan kepada kalian sampai kalian kembali ke agama kalian”. (HR. Abu Daud)


D. Pendapat Para Ulama tentang Tawarruq
Ada dua pendapat dikalangan para ulama tentang hukum Tawarruq ini : (Abu Muawiyah : 2008)
1. Hukumnya adalah boleh. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama dan pendapat Iyas bin Mu’awiyah serta salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Dan ini yang dikuatkan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy , Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz , Syaikh Sholih Al-‘Utsaimin , Syaikh Sholih Al-Fauzan dan keputusan Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy .
Ulama yang membolehkan Tawarruq bersandarkan pada kaidah umum bahwa hukum asal dalam jual beli adalah halal dan tercakup dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla :
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli”. (QS. Al-Baqorah: 275).
Dan dalam masalah Tawarruq ini tidak nampak bentuk riba baik secara maksud maupun bentuk, sementara manusia membutuhkan mu’amalah yang seperti ini dalam melunasi hutang, nikah dan lain-lainnya. Namun Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mensyaratkan bolehnya dengan beberapa ketentuan :
Ia butuh untuk melakukan transaksi tersebut dengan kebutuhan yang jelas
Sulit baginya mendapatkan keperluannya dengan jalan Al-Qardh (pinjaman), As-Salam maupun yang lainnya.
Hendaknya barang yang akan ditransaksikan telah dipegang dan dikuasai oleh penjual.
Wallahu Ta’ala A’lam.
2. Hukumnya adalah haram. Ini adalah riwayat kedua dari Imam Ahmad dan pendapat ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz serta dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Saudi Arabia .
C. Tawarruq Berdasarkan Kajian Fiqih Terpadu

Dalam menentukan hukum suatu masalah dengan menggunakan fiqih terpadu, selain memperhatikan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah baik yang bersifat khusus maupun umum, juga memperhatikan qara’in ahwal baik manqulah maupun ghoiru manqulah.

Dalil-Dalil
Al-Qur’an
QS. An Nisa (4) :29:
”Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu ...”
Al Baqarah (2) :275:
”.. dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”
Al Maidah (5):1:
“..Hai orang-orang beriman! Penuhilah akad-akad itu ..”
Al-Baqarah (2) :280:
“..Dan jika (Orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan ..”

Dari dalil-dalil Al-Qur’an diatas, tidak satupun yang melarang transaksi Tawarruq bahkan dapat dijadikkan hujjah untuk membolehkannya. Pada dasarnya, Tawarruq merupakan serangkaian transaksi jual beli yang terdiri dari jual beli secara tunai dan jual beli secara kredit (tangguh) dan sebagaimana dalil diatas secara jelas bahwa Allah menghalalkan jual beli baik secara tunai maupun secara tangguh.


Al-Hadist

Salah satu Hadist yang tercatat oleh al-Bukhari dan Muslim terbukti telah mendukung transaksi ini.
“Ketika salah satu petani kurma dari Khaybar datang dan membawa kan Kualitas Kurma yang tebaik kepada Nabi Muhammad SAW , Nabi bertanya kepada petani tersebut apakah semua buah kurma dari Khaybar sangat baik mutu nya. Petani ini menjawab tidak, saya menukar dua ukuran (kg) kualitas kurma yang rendah untuk satu ukuran (kg) yang bagus, terkadang saya harus menukar 3 ukuran (kg) yang kulitas rendah untuk satu ukuran (kg) yang kualitas nya bagus. Lalu Nabi Muhammad melarang petani itu untuk melakukan transaksi itu dan malah menyarankan untuk menjual semua kualitas rendah nya agar mendapat kan uang tunai (berupa koin perak pada jaman itu) dan lalu menggunakan uang tersebut untuk membeli Kurma dengan kualitas yang bagus.
Hadist ini mengindikasikan di perkenankannya suatu metode untuk menghindari Riba. Semua media jual beli dan syarat syarat serta kondisi dari transaksi jual beli sudah terpenuhi, bebas dari faktor faktor yang di larang. Niat untuk mendapat kan kualitas Kurma yang lebih bagus tidak membatal kan struktur nya. Dengan demikian, hal ini menunjukan legalitas dari transaksi jual beli dimana maksud dan niat yang berlainan menggunakan suatu media dapat di terima dan dilakukan dan bebas dari riba secara explicit dan implicit. Jadi untuk mendapatkan likuiditas dengan media ini (tawarruq) sudah seharus nya di perkenan kan apabila memang di perlukan.”

Hadist-hadist lain yang juga mendukung dibolehkannya Tawarruq adalah sbb:

Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabsa, ”Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka. ” (HR. Al- Baihaqi dan Ibnu Maja, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban)

Dari hadist diatas selaras dengan Firman Allah SWT QS. An Nisa (4) :29. Dengan demikian, ketika pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi Tawarruq berdasarkan prinsip suka sama suka (suka rela) maka tidaklah mengapa untuk dilakukan. Adapun masalah adanya transaksi secara tangguh dengan harga yang lebih tinggi dari harga kontan yang menjadi perdebatan dalam menentukan hukum tawarruq dapat dijelaskan oleh hadist dibawah ini,

”Nabi besabda, ”Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu majah dan Suhaib)

Hadist diatas, dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa transaksi secara kredit (tangguh) pada struktur tawarruq tidak bertentangan dengan Syariat. Adapaun masalah adanya perbedaan harga antara penjualan secara tunai dan secara kredit, sebanarnya kondisinya sama seperti murabahah yang banyak diterapkan oleh bank syariah saat ini dimana harga barang yang dijual lebih mahal dari harga kontannya bahkan besaran harga sangat bergantung dengan jangka waktu pembayaran.

Tentang perbedaan harga tunai dengan harga kredit ini, dapat kita simak kutipan tanya jawab antara seseorang dengan Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baz rahimahullah. Ketika ditanya tentang hukum membeli sekarung gula dan semisalnya dengan harga 150 Riyal SA sampai suatu waktu (denga kredit-pent) dan ia senilai 100 Riyal secara kontan, maka beliau menjawab:
“Sesungguhnya Mu’amalah ini tidaklah mengapa, karena menjual secara kontan berbeda dari menjual secara kredit dan kaum muslimin terus menerus melakukan mu’amalah seperti ini. Ini adalah Ijma’ (kesepakatan) dari mereka tentang bolehnya. Dan telah syadz (ganjil/bersendirian) sebagian ulama, bila ia melarang adanya tambahan disebabkan karena (tambahan) waktu sehingga ia menyangka hal tersebut adalah bagian dari riba. Ia adalah pendapat tidak ada sisinya, bahkan tidaklah (hal tersebut) termasuk riba sama sekali karena seorang pedagang ketika ia menjual barang sampai suatu waktu (dengan kredit,-pent), ia menyetujui adanya penangguhan hanyalah karena ia mengambil manfaat dengan tambahan (harga) dan si pembeli rela adanya tambahan karena ada pengunduran dan karena ketidakmampuannya untuk menyerahkan harga secara kontan maka keduanya mengambil manfaat dengan mu’amalah ini dan telah tsabit (pasti/tetap) dari Nabi shollallahu ‘alahi wa sallam sesuatu yang menunjukkan bolehnya hal tersebut…”. (Dinukil dari kitab Min Ahkamil Fiqhil Islamy Karya ‘Abdullah Al-Jarullah hal. 57-58 dengan perantara Bai’ut Taqsith karya Hisyam Alu Burgusy.)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seekor kuda yang dia beli dengan harga 180 Dirham, lalu seseorang memintanya dengan harga 300 Dirham dalam jangka waktu (pembayaran) tiga bulan; apakah hal tersebut halal baginya.
Beliau menjawab : “Al-Hamdulillah, Apabila ia membelinya untuk diambil manfaatnya atau untuk ia perdagangkan maka tidaklah mengapa menjualnya sampai suatu waktu (dengan kredit,-pent). Akan tetapi janganlah ia mengambil keuntungan dari orang yang butuh kecuali dengan keuntungan yang wajar. Jangan ia menambah (harga) karena daruratnya (karena ia sangat membutuhkannya,-pent.). [Adapun kalau ia butuh dirham lalu membelinya (kuda tersebut, -pent.) untuk ia jual pada saat itu juga dan ia mengambil harganya maka ini adalah makruh menurut (pendapat) yang paling zhohir dari dua pendapat ulama][1]”. Dari Majmu’ Al-Fatawa 29/501.
Dan dalam jilid 29 hal. 498-500, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil bolehnya hal tersebut berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah dan Al-Ijma’.
Dan hukum bolehnya ini juga merupakan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Saudi Arabia[2], keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy no. 51 (2/6) dan no. 64 (2/7)[3], kesimpulan dalam AL-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin[4], Fatwa Syaikh Sholih Al-Fauzan[5], Fatwa Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh[6] dan kebanyakan ulama di zaman ini.

Adapaun dalil yang dapat dijadikan sandaran untuk melarang Tawarruq adalah hadist berikut:

Diriwayatkan Abu Huiroiroh ra, bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Jika kamu melakukan jual beli secara ‘inah, mengambil ekor sapi, rela dengan pertanian dan meninggalkan jihad, maka Alloh SWT akan melimpahkan kehinaan kepada kalian sampai kalian kembali ke agama kalian”. (HR. Abu Daud)

Pada Hadist diatas dengan jelas dikatakan bahwa Allah SWT akan melimpahkan kehinaan kepada orang –orang yang melakukan transaksi Inah sampai mereka kembali ke agama mereka.

Struktru Tawarruq hampir sama dengan struktru Inah. Perbedaan keduanya sangat sedikit yanitu terletak pada tempat penjualan barang kembali. Bila pada Inah, barang yang dibeli secara kredit tersebut dijual kembali ke penjual pertama (pemilik awal barang) sedangkan pada Tawrruq, barang dijual kembali kepada pihak ketiga (buka penjual pertama). Oleh karena itu, dianggap bahwa sebenarnya Tawarruq itu sama saja dengan Inah yang dilarang oleh Allah SWT.

Selain itu, orang-orang yang melakukan Tawarruq terkadang tidak berada pada kondisi sangat butuh dengan likuiditas dimana jika liquiditas tidak terpenuhi maka kehidupannya akan terancam.


D. Qara’in Ahwal
Manqulah
Kaidah Fiqih

 ”Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” ( Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid, Juz 2, hal.61; lihat pula Al-Kasani, Bada’i as-Sana’i, juz 5 Hal.220-222)

 Hukum asal dalam muamalah adalah pemaafan, tidak ada yang diharamkan kecuali apa yang diharamkan oleh Allah SWT. (Ibnu Taimiyah, Juz II hlm.306)
 Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan. (Ahmad al-Nadwi)
 Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kredit) adalah sama dengan riba (Al Ruki)
 Segala perkara tergantung pada niatnya
 Seseorang tidak dapat menjual suatu barang yang bukan miliknya

Ghoiru Manqulah
Aspek Ekonomi
Dalam kegiatan ekonomi masyarakat, ditemukan begitu banyak transaksi ribawi dalam usaha memenuhi kebutuhan liquiditas baik untuk keperluan bisnis maupun konsumsi. Hal ini sulit untuk dihindari mengingat tersedianya likuiditas telah menjadi kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mempertahanakn eksistensi bisnis. Adapun jalan untuk mendapatkan liquiditas dengan pinjaman Qard tidak tersedia. Oleh karena itu, masyarakat dan pengusaha menempuh jalan ribawi untuk bisa memenuhi kebutuhan likuiditas tersebut.
Namun demikian, ada sebagian masyarakat yang mencoba mencari jalan alternatif untuk bisa memenuhi kebutuhan liquiditas mereka namun tetap terhindar dari transaksi ribawai. Dan salah satu jalan alternatif tersebut adalah tawarruq.




Jika tawarruq dilarang, maka mereka dapat dipastikan akan menempuh jalan ribawii mengingat kondisi terpenuhinya liquiditas dewasa ini semakin menjadi kebutuhan tidak hanya untuk keperluaan yang bersifat mendesak namun juga untuk keperluan lainnya.


E. Penutup
Dari pembahasan diatas, maka dapat tarik kesimpulan bhawa secara dalil baik itu Al-Qur’an maupun As-Sunnah, lebih berat kepada yang membolehkan. Begitu juga, jika dilihat dari Qara’in Ahwal, baik manqulah maupun ghoiru manqulah lebih berat kepada yang membolehkan.
Namun demikian, untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan tawarruq yang pada mulanya muncul sebagai tindakan alternatif dalam memenuhi kebutuhan uang tunai tanpa menggunakan transaksi ribawi, maka perlu disyaratkan bolehnya dengan beberapa ketentuan:
Seseoran butuh untuk melakukan transaksi tersebut dengan kebutuhan yang jelas
Sulit baginya mendapatkan keperluannya dengan jalan Al-Qardh (pinjaman), As-Salam maupun yang lainnya.
Hendaknya barang yang akan ditransaksikan telah dipegang dan dikuasai oleh penjual.
Wallahu Ta’ala A’lam









Referensi:

Al-Qur’an
Al-Hadist
Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI-Edisi Revisi Tahun 2006, DSN MUI –BI, 2006.
Abu Muawiyah, Masalah At-Tawarruq, (http://al-atsariyyah.com/?p=537 : 15 December 2008.
Mohd. Daud Bakar, Engku Rabiah Adawiah Engku Ali, Essential Readings In Islamic Finance, CERT Publications Sdn. Bhd, Kuala Lumpur, 2008
Nibra Hosen, Tawarruq, http://nibrahosen.multiply.com/journal/item/21/Tawarruq:15 Februari 2008.
Zulkarnain bin Muhammad Sunusi, Jual Beli Dengan Cara Kredit, http://groups. yahoo.com/ group/nashihah/ message/41, 21 Desember 2008.
Adiwarman Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, Karim Business Consulting, 2003.