tag:blogger.com,1999:blog-71916342455465831122024-02-20T17:49:28.648-08:00duscik ceolahilmu hadirkan kemudahanduscikceolahhttp://www.blogger.com/profile/01938035177145446106noreply@blogger.comBlogger4125tag:blogger.com,1999:blog-7191634245546583112.post-31387197388745163172010-11-19T02:14:00.000-08:002010-11-19T02:16:47.205-08:00SISTEM POLITIK PEMERINTAHAN DINASTI FATHIMIYAHA. Pendahuluan<br />Keruntuhan sedikit demi sedikit hegemoni Daulah Abbasiyah sebuah konsekwensi dari lemahnya kepemimpinan dan dukungan politik dari berbagai daerah kekuasaan. Tuntutan otonomi daerah bertopeng kepentingan agama demi kekuasaan juga memperlihatkan perannya. Lebih dari itu, tuntutan perkembangan zaman dan kemajuan masyarakat serta merta mengubah cara pandang yang tidak bisa tunduk dengan kezaliman selamanya. Di atas puing-puing keruntuhan itu, ada banyak dinasti muncul dalam arti memerdekakan diri, yang berangkat dari akar kepentingan politik kekuasaan dan perbedaan pemahaman agama, suku, ras dan bangsa. Terutama aliran besar dalam Islam, Sunni dan Syi’ah yang selalu bergesekan dalam bidang politik dan kekuasaan. Aliran ini pada dasarnya, merupakan alasan klasik yang selalu terjadi dalam sejarah Islam. <br />Salah satu dinasti yang muncul adalah dinasti Fathimiyah yang berasal dari golongan bani Ubaidi. Bani Ubaidi berasal dari daerah magribi (Tunisia) mereka terus memperkuat diri dan memperluas wilayah kekuasaaan. Kerajaan yang bernaung di bawah Bani Abbas semuanya mereka kuasai, pertama yang ada di Maghribi dan kemudian terdapat di Afrika. Disaat Dinasti Abbasiyah terus menuju kehancurannya, Dinasti Bani Ubaidi terus melebarkan kekuasannay hingga Mesir, Syria, dan Hejaz. <br />Dinasti Fatimiyah mencapai puncaknya pada periode Mesir, terutama pada masa kepemimpinan al-Mu’izz, al-Aziz dan al-Hakim. Puncaknya adalah masa al-Aziz. Mesir senantiasa berada dalam kedamaian dan kemakmuran rakyatnya karena keadilan dan kemurahhatian sang khalifah. Nama sang khalifah selalu disebutkan dalam khutbah-khutbah Jumat di sepanjang wilayah kekuasaannya yang membentang dari Atlantik hingga Laut Merah. Al Aziz adalah khalifah kelima yang berkuasa di dinasti Fatimiyah dan merupakan khalifah pertama di Mesir. Pada masa ini terjadi perluasan wilayah dan pembangunan dalam kerajaan dan wilayah kerajaan, istananya bisa menampung 30.000 tamu, masjidnya sangat megah, perhubungan sangat lancar, dan keamanan terjamin. Perekonomian dibangun, baik dari sektor pertanian, perdagangan maupun industri sesuai dengan perkembangan teknologi pada waktu itu. <br />Sumbangan dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangat besar, baik dalam sistem pemerintahan, kebudayaan, politik maupun dalam bidang ilmu pengetahuan, kemajuan yang terlihat antara lain: <br />1. Di Bidang Pemerintahan, Fatimiyah berhasil mendirikan sebuah Negara yang sangat luas dan peradaban yang berlainan yang jarang disaksikan di Timur. Hal ini sangat menarik perhatian karena sistem administrasinya yang sangat baik sekali, aktifitas artistiknya, luasnya toleransi religiusnya, efesiensi angkatan perang dan angkatan lautnya, kejujuran pengadilan-pengadilannya, dan terutama perlindungan terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan.<br />2. Di Bidang Kebudayaan, dinasti ini juga mencapai kemajuan pesat, terutama setelah didirikannya Masjid al-Azhar yang sekarang dikenal dengan Jami’at al-Azhar (universitas al-Azhar), yang berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan selanjutnya Masjid al-Azhar ini telah dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok Syiah maupun Sunni.<br />3. Di Bidang Politik, dilakukan oleh Khilafah Fatimiyah dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang bersifat politis yang dikeluarkan oleh khalifah, di antaranya:<br /> Pemindahan pusat pemerintahan dari Qairawan (Tunisia) ke Kairo (Mesir) adalah merupakan langkah strategis. Mesir akan dijadikan sebagai pusat koordinasi dengan berbagai Negara yang tunduk padanya, karena lebih dekat dengan dunia Islam bagian Timur, sedangkan Qairawan jauh di sebelah utara Benua Afrika<br /> Perluasan wilayah. Pada masa khalifah al-Azis telah menguasai daerah yang meliputi negeri Arab sebelah timur sampai Laut Atlantik sebelah barat dan Asia kecil sebelah utara sampai Naubah sebelah selatan.<br /><br /> Pembentukan Wazir Tanfiz yang bertanggung jawab mengenai pembagian kekuasaan pusat dan daerah.<br />Namun Fatimiyah kurang berhasil di bidang politik dalam dan luar negeri, terutama ketika menghadapi kelompok nasrani dan sunni yang sudah lebih dahulu mapan daripada Mesir.<br />4. Di Bidang Keilmuan dan Kesusastraan. Ilmuwan yang paling terkenal pada masa Fatimiyah adalah Yakub Ibnu Killis yang berhasil membangun akademi keilmuan dan melahirkan ahli fisika bernama al-Tamimi dan juga seorang ahli sejarah yaitu Muhammad ibnu Yusuf al-Kindi dan seorang ahli sastra yang muncul pada masa Fatimiyah adalah al-AAzis yang berhasil membangun masjid al-Azhar. Kemajuan yang paling fundamental di bidang keilmuan adalah didirikannya lembaga keilmuan yang bernama Darul Hikam, serta pengembangan ilmu astronomi oleh ahli ibnu Yunus dan Ali al-Hasan dan Ibnu Hayam karyanya tentang tematik, astronomi, filsafat fan kedokteran telah dihasilkan pada masa al-Mansur terdapat perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000 buku dan 2400 illumited al-Qur’an.<br />5. Di Bidang Ekonomi dan Sosial, Mesir mengalami kemakmuran ekonomi yang mengungguli daerah-daerah lainnya dan hubungan dagang dengan dunia non muslim dibina dengan baik, serta di masa ini pula banyak dihasilkan produk islam yang terbaik. Dikisahkan pada suatu Festifal, khalifah sangat cerah dan berpakaian indah, istana khalifah dihuni 30.000 orang terdiri 1200 pelayan dan pengawal, juga masjid dan perguruan tinggi, rumah sakit dan pemondokan khalifah yang berukuran sangat besar menghiasi kota Kairo baru, pemandian umum yang dibangun dengan baik, pasar yang mempunyai 20.000 toko luar biasa besarnya dan dipenuhi berbagai produk dari seluruh dunia.<br />Kemakmuran Mesir ini terjadi pada masa pemerintahan al-Azis yang memiliki sifat dermawan dan tidak membedakan antara syi’ah dan sunni, Kristen dan agama lainnya, sehingga banyak dai sunni yang belajar ke al-Azhar. Walaupun dinasti ini bersungguh-sungguh dalam mensyi’ahkan orang Mesir tapi tidak ada pemaksaan, inilah salah satu bentuk kebijakan yang diambil oleh khalifah Fatimiyah yang imbasnya sangat besar terhadap kemakmuran dan kehidupan sosial masyarakat Mesir.<br />Maka dalam penulisan makalah ini, penulis ingin mengetahui bagaimana tatanan sistem politik pada masa kekuasaan Dinasti Fathimiyah.<br /><br />B. Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiyah <br />Fatimiyah berasal dari sutu tempat yang kini dikenal sebagai Tunisia ("Ifriqiya") namun setelah penaklukan Mesir sekitar 971 M, ibukotanya dipindahkan ke Kairo. Di masa Fatimiyah, Mesir menjadi pusat kekuasaan yang mencakup Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah, Yaman, dan Hijaz. Di masa Fatimiyah, Mesir berkembang menjadi pusat perdagangan luas di Laut Tengah dan Samudera Hindia, yang menentukan jalannya ekonomi Mesir selama Abad Pertengahan Akhir yang saat itu dialami Eropa. <br />Dinasti Fathimiyah berdiri pada tahun 909 hingga 1171 Masehi. Saat itu kondisi Dinasti Abbasiyah di Baghdad melemah dan tidak mampu lagi mengatur daerah kekuasaan yang luas. Dalam keadaan seperti itu, sekelompok Syi’ah Islamiyah dari Afrika Utara menyusun kekuatan untuk memerdekakan diri. Gerakan yang membangkitkan negara baru ini merupakan gerakan bahwa tanah yang tidak bisa ditelusuri secara jelas. Namun yang jelas, gerakan ini merupakan cabang dari Syi’ah Islamiyah, yang mengakui enam Imam pertama Syi’ah Islamiyah, namun berselisih mengenai Imam ketujuh. Bagi kaum Imamiyah, Musa al-Kazim putra Ja’far al-Sahdiq adalah imam yang ketujuh, sedangkan kaum Ismailiyah mengakui Ismail sebagai Imam Ketujuh. Bagi golongan Ismailiyah, karena Ismail wafat lebih dahulu dari bapaknya, hak maka yang dinobatkan adalah Musa al-Kazim. Sementara menurut pengikut Ismail, hak atas Ismail sebagai imam tidak dapat dipindahkan kepada yang lain walaupun sudah meninggal. <br /><br />Sejak pemimpin ketujuh mereka, Ismail meninggal, aktivitas aliran Ismailiyah dimulai karena khalifah-khalifah Abbasiyah mengadakan penyelidikan, maka golongan yang setia kepada Ismail bin Ja’far terpaksa harus meninggalkan Salamiyah, kota kecil di wilayah Hammah, Syria, menuju Afrika Utara. Di sini `mereka mulai melancarkan propaganda politik untuk memperoleh dukungan rakyat. Gerakan ini dipimpin oleh seorang orator handal Ismailiyah bernama Abu Abdullah, yang dikenal dengan sebutan al-Syi’i. Propaganda mereka meliputi: akan memperbaiki kehidupan ekonomi dan sosial kemasyarakatan, munculnya al-Madi yang akan membebaskan rakyat dari penindasan dan terror, menyatakan bahwa mereka akan lebih dekat kepada Nabi dari pada Dinasti Ummayyah dan Abbasiyah. <br />Menjelang tahun 909 gerakan ini sudah memperoleh banyak dukungan sehingga mampu mengusir Dinasti Aghlabi dari Afrika Utara dan menjadi penguasa. Abu Abdullah mengundang Ubaidillah yang mereka klaim sebagai al-Mahdi dan Januari 910 menjabat sebagai Amirul Mukminin. <br />Dengan dimikian resmilah berdiri sebuah dinasti baru yang bernama Dinasti Fathimiyah dengan Ubaidillah al-Mahdi sebagai khalifah pertama, pendukung Ubaidillah adalah suku-suku Barbar yang berpindah-pindah, yang juga telah menjadi pengikut Syi’ah Ismailiyah. Mereka bersikap melawan kaum Aghlabiyah yang terdiri dari suku bangsa Arab aliran sunni dan terikat dengan penguasa Abbasiyah. Suku Barbar ini berpotensi untuk memberontak terhadap penguasa di Baghdad, karena masih satu keturunan dengan penguasa Bani Ummayyah yang digulingkan Bani Abbasiyah di Baghdad. <br /><br />Itulah alasan mengapa Tunisia dijadikan basis untuk membangun kekuasaan dunia Islam baru, guna menggeser kekuasaan Abbasiyah. Di Afrika Utara, kekuasaan mereka segera menjadi besar. Tahun 909 mereka dapat menguasai Dinasti Rustamiyah dan menyerang Bani Idrisyiyah yang sedang menguasai Maroko. Perang antar daerah kekuasaan Islam antar dinasti menjadi fenomena yang tidak dapat diselesaikan oleh Abbasiyah sebagai rezim yang berkuasa. <br />Fokus Dinasti Fathimiyah yang pertama adalah mengambil kepercayaan umat Islam bahwa mereka adalah keturunan Fathimiyah puteri Rasulullah dan Isteri dari Ali bin Abi Thalib para khalifah Fathimiyah merujuk asal-asal mereka kepada pasangan suami isteri ini. Sebagaimana diketahui, dinasti ini berakar pada Syi’ah Ismailiyah, para pengikutnya mengharapkan kemunculan Imam al-Mahdi. Mereka mengakui diri mereka adalah keturunan Nabi melalui Ali dan Fathimah lewat garis Ismail putera Ja’far al-Shadiq. Namun kalangan Sunni menolak asal-usul tersebut dan biasanya mereka menyebut Dinasti Ubaidi yang keturunan Ubaidillah, khalifah pertama Dinasti Fathimiyah, bahkan ada yang menuduh mereka keturunan Yahudi, sebagaimana tuduhan kepada Ubaidillah secara pribadi. <br />Walaupun berambisi untuk mengalahkan kekuasaan Daulah Abbasiyah, namun Fathimiyah tidak menyerang Baghdad, mereka malah terus meningkatkan propaganda dan berusaha untuk menduduki Mesir. Ketika itu Dinasti Fathimiyah dipimpin oleh Khalifah al-Mu’iz, Mesir sedang berada dalam kondisi kacau dan lemah ketika Jauhar panglima pasukan Fathimiyah sedang menghadapi armada Bizantyum di laut tengah. Melihat hal tersebut, maka pada tahun 969, Jauhar atas perintah khalifah menyerbu Fusfat, yang merupakan titik pertahanan paling lemah. Segera setelah itu, dia menyatakan Mesir sebagai benteng kekuatan Ismailiyah.<br />Setelah Mesir dapat dikuasai, maka fokus politik Dinasti Fathimiyah selanjut adalah mendirikan ibu kota baru yang terletak di Fusfat bagian Utara, yang mereka sebuta dengan al-Qahirah, yang berarti sang penakluk. Sejak itu penampilan Fusfat semakin cemerlang dan mampu menjadi pesaing Kota Baghdad sebagai pusat peradaban maupun pemerintahan di Timur Tengah. Disamping itu, dinasti ini jga berupaya untuk menyebar luas ideologoi Fathimiyah ke Palestina, Syiria dan Hijaz. <br />Keberadaan Dinasti Fathimiyah berbeda dengan dinasti-dinasti kecil lainnya. Dinasti Fathimiyah mengklaim diri sebagai kekhalifahan yang memegang pimpinan politik dan spritual tertinggi. Mereka tidak mengaku bagian dari Abbasiyah, mereka melepaskan diri dari Baghdad, tidak hanya dari segi politik, tetapi juga spritual. Sementara dinasti-dinasti kecil lainnya walaupun secara politik melepas dari dinasti Abbasiyah, namun secara spiritual mereka tetap terikat. Inilah yang membedakan Dinasti Fathimiyah dengan dinasti-dinasti lokal lainnya.<br />Khalifah-khalifah yang memimpin Dinasti Fathimiyah ada 14 orang yang itu: <br />1. Abu Muhammad Abdullah (Ubaidillah) al-Mahdi billah (910-934). Pendiri.<br />2. Abu Muhammad al-Qa’im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934-946)<br />3. Abh ?ahir Ismail al-Mansur bi-llah (946-953)<br />4. Abu Tamim Ma’add al-Mu’izz li-Din Allah (953-975) Mesir ditaklukkan semasa pemerintahannya. <br />5. Abu Mansur Nizar al-’Aziz bi-llah (975-996)<br />6. Abu Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr Allah (996-1021)<br />7. Abu Hasan Ali al-Zahir li-I’zaz Din Allah (1021-1036)<br />8. Abu Tamim Ma’add al-Mustansir bi-llah (1036-1094)<br />9. Al-Musta’li bi-llah (1094-1101) pertikaian atas suksesinya menimbulkan perpecahan Nizari.<br />10. Al-Amir bi-Ahkam Allah (1101-1130) Penguasa Fatimiyah di Mesir setelah tak diakui sebagai Imam oleh tokoh Ismailiyah Mustaali Taiyabi.<br />11. Abd al-Majid al-Hafiz (1130-1149)<br />12. Al-Zafir (1149-1154)<br />13. Al-Faiz (1154-1160)<br />14. Al-Adid (1160-1171) <br />C. Sistem Politik Pemerintahan<br />1. Bentuk Pemerintahan; <br />Dari metode pergantian khalifah, dapat dikatakan bahwa bentuk pemerintahan pada masa dinasti Fathimiyah adalah berbentuk monarki atau sistem kerajaan, yaitu sistem pergantian kepala negara atau pemerintahan secara turun menurun. <br />Didalam perjalanan pemerintahannya, Daulah Fathimiyyah melalui dua fase, yaitu : <br /> a. Fase Konsolidasi (969-1021 M)<br />Pada fase ini sempat terjadi perang saudara antara Turki dan Barbar, yang keduanya merupakan kelompok yang turut mendirikan Dinasti Fathimiyyah. Barbar memberikan dukungan sepenuhnya kepada Daulah Fathimiyyah karena awalnya Barbar-lah yang mengusai anggota pemerintahan. Banyak diantara bangsa Barbar yang diangkat menjadi pemerintahan. Keadaan ini berlangsung sampai masa pemerintahan Al – Muizz li Dinillah. Sedangkan pada masa pemerintahan Az Zahir dan Al – Munthasir Khalifah lebih dekat dengan keturunan Turki. Sehingga muncullah dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar, sejak saat itulah Barbar kehilangan kedudukan dalam pemerintahan. Untuk lebih mengenal keadaan dalam fase ini, baik tentang pemimpin/Khalifah, roda pemerintahan, kebijakan pemerintah, dan situasi yang dihadapinya, akan dijelaskan sebagai berikut :<br />1) Al–Mahdi (909-924 M)<br />Ubaidillah al–Mahdi adalah Khalifah pertama Dinasti Fathimiyyah. Ia datang dari Afrika Utara, dimana propaganda Syi’i telah menciptakan kondisi yang baik bagi kedatangannya. Dengan dukungan kaum Barbar Ketama, dan menumbangkan Gubernur- Gubernur Aghlabiyah di Ifriqiyyah dan Rustamiyah Khariji di Tahari, dan menjadikan Idrisiyah Fez sebagai penguasa bawahannya. Pada tahun 909 M, dialah yang memproklamasikan berdirinya khilafah Fathimiyyah yang terlepas dari kekuasaan Abbasiyah. Ia dibantu oleh Abdullah Asy-Syafi’i dalam mengkonsolidasikan khilafahannya di Tunisia. Dalam proses tersebut, pada tahun 920 M, ia telah berhasil mendirikan sebuah kota yang baru dan dijadikan sebagai ibukota, yaitu Mahdiah yang terletak di pesisir pantai Tunisia.<br />Selama menjalankan pemerintahannya, ia telah berhasil menghalau para pemberontak yang dipimpin oleh Abu Abdullah al Husyain dan memperluas wilayahnya sampai propinsi Fez di Maroko bahkan telah merebut Alexandria. Perlawanan juga dating dari kelompok pendukung Abbasiyah, kelompok yang berafiliasi ke Dinasti Umaiyah di Andalusia maupun kelompok Khawarij dan Barbar (Hoeve, 1994:10).<br />2) Al–Qa’im ((924-946 M)<br />Setelah al–Mahdi meninggal, ia diganti oleh putranya yang bernama Abdul Qasim dan bergelar Al–Qa’im. Ia meneruskan kebijakan yang diambil ayahnya dengan mengirimkan armadanya dan mampu menghancurkan pesisir selatan Perancis, Genoa dan sepanjang pesisir Calabria tahun 934 M. Akan Tetapi ia tidak berhasil dalam memadamkan pemberontakan oleh Abu Yazid yang berlangsung selama tujuh tahun. Abu Yazid yang berulangkali menaklukan pasukan Al–Qa’im akhirnya berhasil mengepung Susa. Dengan wafatnya Al–Qa’im pada tahun 946 M, maka berakhirlah kekuasaannya dan dilanjutkan oleh putranya Al–Manshur<br />3) Al–Manshur (946-953 M)<br />Perjuangan yang dilakukan oleh ayahnya telah mencapai keberhasilan yang gemilang dibawah kekuasaannya. Ia adalah seorang pemuda yang cerdik dan energik hingga ia berhasil menghentikan pemberontakan Abu Yazid yang terjadi di masa pemerintahan ayahnya. Ia berhasil menundukkan Abu Yazid dan pasukannya. Bahkan mereka turut membantu ekspansi hingga ke seluruh Afrika, disanalah ia membuat kota yang diberi nama al–Mashuriyah.<br />4) Al–Mu’iz (953-975 M)<br />Keberhasilan yang telah dicapai Al–Manshur dilanjutkan oleh putranya yang bernama Abu Tamim Ma’ad dengan gelar al Mu’iz. Ia telah membuat pencerahan pada Dinasti Fathimiyyah, dengan melaksanakan kebijaksanaan besar, yaitu :<br />a. Pembaharuan dalam bidang administrasi dengan mengangkat seorang wazir (menteri) untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan.<br />b. Pembangunan ekonomi, dengan memberi gaji khusus pada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya.<br />c. Toleransi beragama (juga aliran) dengan mengadakan empat lembaga, peradilan di Mesir, dua untuk madhab syi’ah dan untuk madhab sunni (Yatim,1993: 282).<br />Setelah basis kekuasaan di Tunis kuat, Khalifah Fathimiyyah dapat menguasai Mesir pada tahun 969 M. Penguasaan ini diawali dengan diutusnya panglima Jauhar al–Katib as– Siqili dengan perlengkapan dan kekayaan yang diperoleh dari basis mereka di Ifriqiyah sebagai persiapan ke arah Timur. Jauhar berhasil memasuki Fustat dan menyingkirkan Dinasti Ikhsidiyyah. Setelah Mesir dapat dikuasai, ia membangun sebuah ibukota baru di Mesir yaitu Kairo Baru (al–Qahirah,artinya yang berjaya) (Bosworth, 1993: 71).<br />Kairo dibangun dengan sejumlah istana kebesaran dan masjid-masjid agung yang merupakan sebuah kota kerajaan yang dirancang sebagai wujud bagi kebesaran kerajaan (Lapidus, 1999: 536). Masjid itu adalah masjid Al Azhar yang berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan pengembangan ilmu pengetahuan dan selanjutnya masjid ini menjadi sebuah akademik dan pada kurun waktu itu Al Azhar menjadi Universitas yang sangat terkenal dikalangan akademik. Selama 23 tahun, masa kepemimpinan al-Mu’iz, pemerintahannya berjalan gemilang. Ia meninggal pada tahun 975 M. Dialah Khalifah termashur dalam kekhalifahan Fathimiyyah di Mesir. Ia mempunyai kelebihan–kelebihan baik di bidang seni, satra dan pengajaran ditambah dengan pengetahuannya yang luas, maka tidak heran jika pada masa Al–Muiz inilah awal kemajuan Fathimiyyah.<br /><br />5) Al–‘Aziz (975-996 M)<br />Al–Aziz putra Al–Muiz dengan sifat pemberani, bijaksana, penyayang, ramah dan pendamai membuatnya berhasil mengadakan ekspansi wilayah secara besar-besaran. Seluruh Syiria sebagian Mesopotamia, dan dari pesisir Eupharates sampai Atlantik telah berhasil dikuasainya, bahkan saat itu Fathimiyyah menjadi rival yang berat bagi Abbasiyah di Baghdad. Rupanya ia mewarisi keahlian ayahnya dibidang seni. Ini tampak pada arsitektur Golde Pala terbuat dari mutiara) dan masjid ayahnya di kuburan Karava. Pada masa inilah Dinasti Fathimiyyah mencapai puncak kejayaannya.<br />6) Al-Hakim (996-1021 M)<br />Al–Hakim adalah seorang penguasa yang sangat kejam, ia membunuh sejumlah tokoh kerajaan tanpa alasan. Ini disebabkan karena usianya yang masih muda (11 tahun) ketika menjadi penguasa menggantikan ayahnya pada tahun 996 M, sehingga dengan mudah gubernurnya yang tak bermoral yang bernama Barjawan dapat menguasainya dengan penuh.<br />Pada awal pemerintahannya, tidak ada kestabilan. Secara komparatif kaum KRISTEN dan Yahudi diperlakukan dengan baik. Bahkan sebagian dari mereka menduduki jabatan yang tinggi dalam negara. Selama pemerintahan Al–Hakimlah gerakan religius Syi’i yang ekstrem, yaitu Druze muncul di Suriah Selatan dan Lebanon, karena Al–Hakim memberikan semangat pada pendirinya, yaitu da’i Al–Darazi, maka Druze memandang Khalifah Al–Hakim sebagai titisan Tuhan (Bosworth, 1993:72).<br />Meskipun kekejaman mewarnai kekhalifahannya, ia berhasil membangun banyak masjid, dan bangunan yang paling terkenal sampai sekarang yaitu Dar al-Hikmah yang dibangun tahun 1306 M, tempat bertemunya berbagai pujangga dan mempromosikan pendidikan dan Syiah.<br /><br /><br /><br /><br />b. Fase Parlementer<br />Setelah melalui fase konsolidasi, selanjutnya Dinasti Fathimiyyah memasuki fase parlementer. Suatu fase dimana banyak sekali muncul permasalahan–permasalahan yang rumit sebagai suatu kelanjutan dari kekuasaan/kejayaan yang dicapai pada fase konsolidasi. Masa ini disebut juga dengan “Ahdu Mufuzil Awzara” atau masa pengaruh menteri-menteri mulai dari Az Zahir, sampai dengan Al ‘Adhid.<br />Pada fase ini memperlihatkan kemunduran tatanan politik, yakni periode peperangan antar fraksi-fraksi militer dan pembagian negeri ini menjadi sejumlah iqta’ yang dikuasai oleh pejabat-pejabat-pejabat militer yang berpengaruh (Lapidus, 1999: 538). Sebuah peperangan telah terjadi dalam fase ini yakni perang Salib. Perang yang terjadi di awal kekuasaan al-Munthasir ini diawali dengan ekspansi yang dilakukan Fathimiyyah dari Mesir sampai ke Palestina dan Syiria.<br /><br />2. Distribusi Kekuasaan/Wewenang; <br />Distribusi kekuasaan dimasa dinasti Fatimiyah hanya dibagi kedalam dua bagian yaitu eksekutif dan Yudikatif.<br />a. Lembaga eksekutif adalah lembaga yang mempunyai kewengan pelaksana undang-undang seperti pemimpin negara/pemerintah beserta jajarannya sampai pejabat-pejabat yang ada dibawah. Lembaga eksekutif meliputi khalifah, menteri dan gubernur.<br />b. Lembaga Yudikatif, lembaga yang menngani peradilan dan kehakiman. Lembaga-lembaga Yudikatif pada masa Dinasti Fatimiyah seperti pengadilan umum(qada), pengadilan privat (mazalim), pengadilan publik (hisbah), dan polisi (shurta). Semua institusi ini berada di bawah pengawasan Hakim Agung (qadi al-qudat). Hakim agung dinasti Fatimiyah bertanggung jawab atas seluruh lembaga-lembaga yang sama di seluruh provinsi, walaupun berada di bawah kebijaksaan khalifah. Namun ada beberapa daerah yang dikuasai oleh kekuatan politik lain seperti Palestina yang saat itu berada di bawah kekuasaan al-namun tidak berada di bawah pengawasan Hakim Agung Abi al-Awwam yang bermazhab Hanbali. Tentara juga tidak harus tunduk kepada Hakim Agung, tetapi mereka menjadi pelindung yurisdiksi mazalim, jika dianggap akuntabel. “Tanggung jawab hakim agung juga bisa diperluas sampai ke persoalan agama seperti menjadi imam shalat, pengurusan masjid dan jenazah, dan juga tanggung jawab lain seperti mengepalai kantor percetakan uang (dar al-darb), mengawasi standar timbangan (mi'yar), dan mengurusi baitul mal. Penyatuan peran peradilan dan tanggung jawab keuangan ini memberikan kesempatan kepada aparatur negara untuk menyalahgunakan kekuasaan. Otoritas yang dimiliki mazalim memperlihatkan hak pregoratif khalifah untuk menginvestigasi pengaduan-pengaduan individual tentang ketidakadilan, kekeliruan administratif yang dilakukan oleh pejabat negara dan menyelesaikan keluhan-keluhan seperti itu tanpa harus mengikuti prosedur yang biasa berlaku. Perwakilan dari seluruh departemen hadir pada saat pengadilan mazalim, yang juga menjadi tempat yang tepat untuk menyortir dan mendistribusikan keluhan kepada pejabat negara terkait.<br />Kepala polisi, sahib al-shurta, diharapkan untuk memperlakukan orang secara setara, menjaga hak-hak korban ketidakadilan, mengeksekusi hukuman yang ditetapkan, dan menghadirkan pihak-pihak yang terkait dengan kasus ke hadapan hakim jika diperlukan. Ia memegang fungsi-fungsi jaksa, pengintegorasi, algojo (pelaksana hukuman) dan pengelola penjara. Meskipun kepala polisi seharusnya ada di bawah kendali Hakim Agung, sebetulnya ada ketegangan yang cukup besar antara pejabat negara yang berada di dua departemen yang berbeda itu menyangkut batas-batas otoritas mereka dalam penyelenggaraan hukuman hudud.<br />Insitusi kenegaraan lain yang terdapat pada masa Dinasti Fatimiah adalah al-muhtasib. Institusi ini muncul pada masa Dinasti Fatimiah di Mesir dan terus berkembang di bagian negara lain. Terlepas dari perbedaan pendapat yang menyatakan bahwa institusi ini berasal dan berkembang dari masa pra-Islam, jelas bahwa peran al-muhtasib (orang yang mengeksekusi aturan hisbah) telah mapan pada akhir abad ke 4 sebagai satu-satunya lembaga sensor, pengawas pasar, dan juga penjaga moral publik berdasarkan aturan amar ma’ruf nahyi munkar. Seorang pelaksana hukum hisbah menjadi figur sentral di mata publik karena ia memegang otoritas yang sangat besar baik sebagai pegawai pemerintahan maupun sebagai otoritas keagamaan yang bertugas menjaga kepentingan dan moralitas publik. Pasar (suq) yang menjadi wilayah kekuasaan muhtasib, menurut manual hisbah yang dibuat oleh Ibnu Abdun, dianggap mewakili seluruh kehidupan sosial.<br />Muhtasib merupakan bagian dari pegawai lembaga peradilan karena penunjukkannya merupakan tanggung jawab hakim agung (qadi al-qudat). Dengan demikian, muhtasib juga merupakan institusi keagamaan (wadzifa diniyah). Ia ditempatkan di Masjid Agung di Kairo dan Fustat untuk mendengarkan pengaduan dalam pengadilan mazalim. Penempatan ini memperlihatkan penitngnya posisi muhtasib dalam sistem peradilan dinasti ini. Namun karena kekuasaan muhtasib dianggap memiliki fungsi religius, maka orang yang ditunjuk sebagai muhtasib harus memiliki kualitas moral yang tinggi. Ia berkewajiban dan diberi otoritas untuk menjatuhkan hukuman ta’zir, meskipun hudud tidak berada di bawah mandatnya secara langsung. Begitu penting dan besarnya jabatan ini tercermin dari terpilihnya wazir atau imam itu sendiri untuk menduduki posisi ini. al-Hakim, Menteri Ibu Killis, dan hakim Ali bin al-Nu’man misalnya pernah menduduki jabatan ini. Namun fakta ini juga mencerminkan bahwa otonomi dan indepensi jabatan ini terbatas dan bahwa institusi ini mencoba menggabungkan otoritas keagamaan dan politik. <br /><br />3. Kedudukan dan Fungsi Pimpinan Negara <br />Pada masa pemerintahan Dinasti Fathimiyah, kedudukan Khalifah sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerinthan. Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah menunjuk seorang menteri untuk membantu menjalan pemerintahan. Namun demikian, ada dua fase mengenai peran menteri dalam pemerintahan Dinasti Fathimiyah, yaitu fase konsolidasi yaitu dimana khalifah memiliki kekuasaan penuh (absolut) dalam mengambil kebijakan dalam rangka menjalankan pemerintahan. Fase kedua yaitu fase parlementer yaitu suatu fase dimana peran menteri begitu dominan dalam mengambil kebijakan. Pada fase ini, suksesi kepemimpinan pun sangat ditentukan oleh seorang menteri. <br />Misal proses suksesi kepemimpinan setelah khalifah Mustansir meninggal dunia. Sebelum Khalifah Mustansir meninggal dunia pada tahun 487 H/1094 M, dia merasa bahwa ajalnya telah dekat dan dia berfikir untuk memproklamirkan anaknya yang paling tua, Nizar untuk menjadi Putera Mahkota. Namur demikian, menterinya Afdal putera Hadr Al Jamali, menunda proklamasi ini dan mempercepat untuk menyatakan hormat lepada kemenakannya, Ahmad yang bergelar Musta’li. Pemimpin Gadhi (hakim) dan pejabat tinggi lanilla dan beberapa anggota keluarga Fathimiyah mengikuti calon menteri. Bersama dengan beberapa sanak saudara dan pendukung-pendukungnya, Nizar pergi ke Iskandariyah dimana dia mendapat bantuan militer dari gubernur setempat, tetapi ia dikalahkan dengan segera dan dibunuh.<br />Hal tersebut diatas, sebagai falta betapa dominannya pengaruh seorang menteri dalam pemerintahan pada Dinasti Fathimiya pada fase ini, oleh karenanya fase ini disebut fase parlementer.<br /><br />4. Struktur Negara<br />Struktur negara yang ada pada masa Dinasti Fathimiyah terdiri dari pemerintahan pusat yang dipimpin oleh Khalifah dan jajarannya dan pemerintah daerah yang dipimpin oleh seorang gubernur. Pemerintahan pusat berkantor di Cairo sedangkan pemerintahan daerah diantaranya meliputi Siria, Turki, Palestina, Afrika Utara.<br /><br />5. Asas Negara<br />Asas dasar negara pada masa Dinasti Fathimiyah, menurut penulis adalah berdasarkan hukum Islam. Hal ini dapat dilihat adanya penerapan hukuman ta’zir dan hudud. Dalam hal ini, Muhtasib yang berkewajiban dan diberi otoritas untuk menjatuhkan hukuman ta’zir, meskipun hudud tidak berada di bawah mandatnya secara langsung.<br /><br />D. Kesimpulan<br />Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk pemerintahan Dinasti Fathimiyah adalah monarki, dengan distribusi kewenagan meliputi eksekutif dan Yudikatif serta memiliki struktur kenegaraan terdiri dari pemerintah pusat yang dipegang oleh seorang Khalifah dan pemerintah daerah yang dipimpin oleh seorang gubernur. Khalifah pada masa dinasti Fathimiyah memegang peranan sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan dimana dalam memerintah dibantu oleh seorang menteri<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Daftar Pustaka<br /><br />G. E. Boswort, Dinasti-Dinasti Islam, diterjemahkan dari The Islamic Dynasties oleh Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1993), <br />Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 2002), <br />W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, diterjemahkan oleh Hartonom Hadikusuma, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), <br />Abu Su’ud, Islamogy, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Ummat Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003),. <br />Cyrel Glase, Ensiklopedia Islam, (Jakarata: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), <br />Zaenal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1979)<br />http://abdullahkhusairi.com<br />http://latenrilawa-transendent.blogspot.com/2009/06/sejarah-khilafah-fatimiyah-mesir.html<br />Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas<br />http://id.wikipedia.org <br />http://stit1a08.blogspot.com/2009/03/sejarah-peradaban-islam.htmlduscikceolahhttp://www.blogger.com/profile/01938035177145446106noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7191634245546583112.post-79618781079436293602010-11-19T02:11:00.000-08:002010-11-19T02:13:37.020-08:00FIQIH SIYASAH DALAM KAJIANI. Pendahuluan<br />a. Latar Belakang<br /> Kajian fiqih siyasah terus berkembang seiring perkembangan dunia politik yang semakin pesat dengan munculnya isu-isu politik mutakhir, seperti demokrasi, civil society, dan hak asasi manusi. Ditambah lagi dengan isu-isu pemikiran seperti sekularisme, liberalisme dan sosialisme yang mesti mendapat respon dari Islam. Perkembangan tersebut tentunya menghadirkan banyak pemahaman-pemahaman baru yang dikembangkan oleh para tokoh fiqih siyasah yang menciptakan sejumlah perbedaan pemikirinan tentang konsep fiqih siyasah dimaksud. <br /> Untuk melakukan kajian tentang fiqih Siyasah secara luas dan mendalam dalam hubungannya sebagai ilmu untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul seiring perkembangan zaman, tentunya harus memahami secara benar tentang konsep dasar fiqih siyasah dari berbagai sudut pandang. Oleh karena itu, penulis merasa penting mengangkat masalah kajian Fiqih Siyasah dalam sebuah makalah yang berjudul “Fiqih Siyasah Dalam Kajian”<br />b. Rumusan Masalah<br />1. Apa pengertian fiqih Siyasah baik secara etimologi maupun terminologi Ulama.<br />2. Apa saja yang menjadi objek kajian Fiqih Siyasah<br />3. Metode mempelajari Fiqih Siyasah<br /><br />II. Pembahasan<br />a. Pengertian Fiqih Siyasah<br /> Istilah Fiqih Siyasah merupakan tarkib idhafi atau kalimat majemuk yang terdiri dari dua kata, yakni fiqih dan siyasah. Secara etimologi, fiqih merupakan bentuk masdhar (gerund) dari tashrifan kata faqiha-yafqahu-fiqhan yang berarti pemahaman yang mendalam dan akurat sehingga dapat memahami tujuan ucapan dan atau tindakan tertentu. Sedangkan secara terminologi, fiqih lebih populer didefinisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara’yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci. (Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada; 2008). <br /> Sementara itu secara etimologi, mengenai asal kata siyasah terdapat beberapa pendapat yang berbeda dikalangan ahli fiqih. Pertama, sebagaimana dianut Al Maqrizy mengatakan bahwa kata siyasah berasal dari bahasa mongol yakni dari kata yasah yang mendapat imbuhan sin berbaris kasra diawalnya sehingga dibaca siayasah. Pendapat tersebut didasarkan pada sebuah kitab undang-undang milik Jenghis Khan yang berjudul ilyasa yang berisi panduan pengelolaan negara dan berbagai bentuk hukuman berat bagi pelaku pindak pidana tertentu. Kedua, sebagaimana yang dianut Ibn Taghri Birdi, Siyasah berasal dari campuran dari tiga bahasa, yakni bahasa Persia, Turki dan Mongol. Partikel Si dalam Bahasa Persia berarti 30, yasa dalam bahasa Turki dan Mongol berarti larangan dan karena itu ia dapat juga dimaknai sebagai hukum atau aturan. Ketiga, sebagaimana dianut Ibnu Manzhur menyatakan siyasah berasal dari Bahasa Arab, yakni bentuk mashdar dari tashrifan kata sasa-yasusu-siyasatan, yang semula berarti mengatur, memelihara, atau melatih binatang, khususya kuda. (Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada; 2008).<br /><br />Adapun menurut Terminologi Ulama, pengertian fiqih siayasah adalah sebagai berikut:<br />1. Menurut Ahmad Fathi, fiqih siyasah adalah Pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan ketentuan syara (Ahmad Fathi Bahantsi dalam al-siyasah al-jinaiyyah fi al-syari\'at al-Islamiyah).<br />2. Menurut Ibnu\'Aqil, dikutip dari pendapat Ibnu al-Qoyyim, bahwa fiqh siyasah adalah Perbuatan yang membawa manusia lebih dekat pada kemalahatan (kesejahteraan) dan lebih jauh menghindari mafsadah (keburukan/ kemerosotan), meskipun Rasul tidak menetapkannya dan wahyu tidak membimbingnya.<br />3. Menurut Ibnu \'Abidin yang dikutip oleh Ahmad Fathi adalah Kesejahteraan manusia dengan cara menunjukkan jalan yang benar (selamat) baik di dalam urusan dunia maupun akhirat. Dasar-dasar siyasah berasal dari Muhammad saw, baik tampil secara khusus maupun secara umum, datang secara lahir maupun batin.<br />4. Menurut Abd Wahab al-Khallaf, Siyasah syar\'iyyah adalah pengurusan hal-hal yang bersifat umum bagi negara Islam dengan cara menjamin perwujudan kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (bahaya) dengan tidak melampaui batas-batas syari\'ah dan pokok-pokok syari\'ah yang bersifat umum, walaupun tidak sesuai dengan pendapat ulama-ulama Mujtahid.<br />Maksud Abd Wahab tentang masalah umum negara antara lain adalah ;<br /> Pengaturan perundangan-undangan negara.<br /> Kebijakan dalam harta benda (kekayaan) dan keuangan.<br /> Penetapan hukum, peradilan serta kebijakan pelaksanaannya, dan<br /> Urusan dalam dan luar negeri.<br />5. Menurut Abd al-Rahman Taj; siyasah syar\'iyah adalah hukum-hukum yang mengatur kepentingan negara dan mengorganisir urusan umat yang sejalan dengan jiwa syari\'at dan sesuai dengan dasar-dasarnya yang universal (kully), untuk merealisasikan tujuan-tujuannya yang bersifat kemasyarakatan, meskipun hal tersebuttidak ditunjukkan oleh nash-nash yang terinci dalam Al-Qur\'an maupun al-Sunnah.<br />6. Ibn Taimiyah menganggap bahwa norma pokok dalam makna kontekstual ayat 58 dan 59 surat al-Nisa [3], tentang dasar-dasar pemerintahan adalah unsur penting dalam format siyasah syar\'iyah. Ayat pertama berhubungan dengan penguasa, yang wajib menyampaikan amanatnya kepada yang berhak dan menghukumi dengan adil, sedangkan ayat berikutnya berkaitan dengan rakyat, baik militer maupun sipil, yang harus taat kepada mereka. Jika meminjam istilah untuk negara kita adalah; Penguasa sepadan dengan legislatif, yudikatif dan eksekutif (trias politika)dan rakyat atau warga negara.<br />7. Sesuai dengan pernyataan Ibn al-Qayim, siyasah syar\'iyah harus bertumpu kepada pola syari\'ah. Maksudnya adalah semua pengendalian dan pengarahan umat harus diarahkan kepada moral dan politis yang dapat mengantarkan manusia (sebagai warga negara) kedalam kehidupan yang adil, ramah, maslahah dan hikmah. Pola yang berlawanan dari keadilan menjadi dzalim, dari rahmat menjadi niqmat(kutukan), dari maslahat menjadi mafsadat dan dari hikmah menjadi sia-sia. <br /><br /><br /><br /><br />b. Ruang Lingkup objek kajian Fiqih Siyasah<br /> Setiap ilmu mempunyai objek dan metode, maka kalau kita membicarakan suatu ilmu haruslah mengetahui apa objeknya , luas lapangan pembicaraan, bahasan dan metodenya. Fiqih siyasah adalah ilmu yang otonom sekalipun bagian dari ilmu fiqih. (Dr. J. Suyuthi Pulungan:1993). Selanjutnya, Hasbi Ash Shiddieqy sebagaimana dikutip Dr.J. Suyuthi Pulungan (1993, hal.27), mengungkapkan bahwa bahasan ilmu fiqih mencakup individu, masyarakat dan Negara, meliputi bidang-bidang ibadah, muamalah, kekeluargaan, perikatan, kakayaan, warisan, criminal, peradilan, acara pembuktian, kenegaraan dan hukum-hukum internasional, seperti perang, damai dan traktat. <br />Objek fiqh siyasah menjadi luas, sesuai kapasitas bidang-bidang apa saja yang perlu diatur, seperti peraturan hubungan warga negara dengan lembaga negara, hubungan dengan negara lain, Islam dengan non Islam ataupun pengatuaran-pengaturan lain yang dianggap penting oleh sebuah negara, sesuai dengan ruang lingkup serta kebutuhan negara tersebut. <br /> Dr. J. Suyuthi Pulungan (1993) mengungkapkan tiga pendapat tokoh tentang bidang-bidang fiqih siyasah. Pertama, Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam al-Sulthaniyat membahas bidang siyasat dusturiyat (siyasah perundang-undangan), siyasat maliyat (siyasat keuangan), siyasat qadhaiyat (siyasah peradilan), siyasat harbiyat (siyasat peperangan), dan siyasat idariyat (siyasah administrasi).<br /> Kedua, Ibn Taimiyah dalam kitabnya Al-Siyasatal Syariat fi Ishlah al Ra’i wa al-raiyat membahas siyasat dusturiyat, siyasat idariyat dan siyasah maliyat. Ketiga, Abdul wahab khalaf dalam bukunya Al-Siyasat Al-Syariyat hanya membahas tiga bidang saja yaitu siyasat dusturiyat, siayasar kharijiyat (siyasah hubungan luar negeri), dan siyasat maliyat. Keempat, Prof. DR.T.M Hasbi Ash Shiddieqy membagi bidang fiqih siyasah kepada delapan bidang, yaitu siyasah dusturiyah, syariyah, siyasah Tasyri’iyah syariah, siyasah qadhoiyah syariah, siyasah maliyah syariah, siyasah idariyah syariah, siyasah khorijiyah syariah/siyasah dauliyah, siyasah tanfiedziyah syariah, siyasah harbiyah syariah.<br /> Sementara itu, Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada (2008, hal 16) juga mengemukakan pendapat Abdurahman Taj yang mengklasifikasikan bidang kajian fiqih siyasah menjadi tujuh macam , yakni (1) siyasah dusturiyyah, (2) Siyasah Tasyriiyyah, (3) siyasah Qadhaiyyah, (4) Siyasah Maliyyah, (5) Siyasah Idariyyah, (6) Siyasah Tanfidziyyah, dan (7) Siyasah Kharijiyyah.<br />Selanjutnya, Dr. J. Suyuthi Pulungan (1993) mempersempit pembidangan yang beragam tersebut kepada empat bidang saja yaitu:<br />1. Bidang fiqih siyasah dusturiyah mencakup siyasah tasyri’iyah syariah (siyasah penetapan hukum yang sesuai dengan syariat), siyasah qadhaiyah syariah (siyasah peradilan yang sesuai menurut syariah), siyasah idariyah syariah (siyasah administrasi yang sesuai dengan syariat), dan siyasah tanfiedziyah syariah (siayasah pelaksanaan syariat). <br />2. Bidang fiqih siyasah dauliyah/kharijiyah, yaitu siyasah yang berhubungan dengan pengaturan pergaulan antara negara-negara islam dengan negara-negara bukan islam, tata cara pengaturan pergaulan warga negara muslim dengan warga negara non muslim yang ada dinegara islam, hukum dan peraturan yang membatasi hubungan negara islam dengan negara-negara lain dalam situasi damai dan perang.s<br />3. Bidang fiqih siyasah maliyah adalah siyasah yang mengatur tentang hak-hak orang-orang miskin, mengatur sumber-sumber mata air (irigasi) dan perbankan.<br />4. Bidang fiqih siyasah harbiyah yaitu siyasah yang mengatur tentang peperangan dan aspek-aspek yang berhubungan dengannya, seperti perdamaian.<br /><br />c. Metoda mempelajari fiqh siyasah<br /> Metoda yang dipergunakan untuk mempelajari fikih siyasah adalah ushul fiqh dan kaidah fiqhiyyah. Hal ini, sama dengan fiqh-fiqh lain. Penerapan dalil kulliy (umum) memiliki kandungan universal tidak terikat oleh dimensi ruang dan waktu. Metode tersebut tentunya harus dilanjutkan sebagai aplikasi yang dapat menyantuni masalah yang ramah mempertimbangkan kondisi dan situasi (maslahah). Membumi karena mampu mengatasi problim kemanusiaan yang bermoral agama (secara-horisontal), secara vertikal menyesuaikan nilai-nilai ketuhanan. Menggunakan metoda ushul fiqh dan qawa\'id al-fiqhiyyah dalam bidang siyasah syar\'iyyah (fiqh siyasah) lebih penting dibanding dengan fiqh-fiqh lain, karena problim siyasah hampir tidak diatur secara terperinci oleh syari\'at Al-Qur\'an maupun al-Hadits. Misalnya Abdul Wahab Khallaf, memandang ayat-ayat Al-Qur\'an yang secara implisit memiliki konteks siyasah (problim politik) hanya beberapa ayat. 10 ayat berhubungan dengan fiqh dustury, 25 ayat dengan dawliy dan 10 ayat lagi berhungan dengan fiqh maliy. Mirip halnya dengan fiqh munakahat ataupun muamalah yang menggunakan metoda secara langsung kepada al-Qur\'an dan al-Hadits. Baru -menggunakn pendektan ijtihad.<br /> Metode yang digunakan dalam fiqih siyasah tidak berbeda dengan metode yang digunakan dalam mempelajari fiqih pada umunya yaitu metode usul fiqih dan metode kaidah fiqih. Keduanya telah teruji keakuratannyad alam menyelesaikan berbagai masalah. Metode usul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih memiliki banyak alternatif untuk dihadapkan dengan masalah-masalah yang timbul. Metode tersebut adalah qiyas, istihsan, ‘uruf, maslahat mursalat, istishab, yang dikenal dengan istilah mashadir al tasyri’ al islam fi ma la nashasha fih (sumber penetapan hukum islam yang tidak berasal dari nash) dan kaidah-kaidah fiqih. Metode ini memberikan kebebasan berfikir bagi penggunanya. Tapi ia harus merujuk kepada dalil-dalil kulli (umum) yang terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah. Dalil-dalil umum dijadikan sebagai alat kontrol terhadap ketetapan produk berpikir. (Dr. J. Suyuthi Pulungan; 1993, hal.30).<br /><br />1. Qiyas (Analogi)<br />Qiyas adalah penjelasan hokum terhadap sesuatu hal yang tidak ada penjelasan nash atau hukumnya dengan mengaitkannya dengan sesuatu hal yang ada nash hukumnya dalam Al qur’an dan Sunnah karena ada persamaan ‘illat (sebab) hokum pada kedua hal tersebut. Dengan ungkapan lain qiyas mempersamakan suatu masalah yang hukumnya tidak disebut dalam nash dengan suatu masalah yang ada penjelasan hukumnya dalam nash, karena ada persamaan illat hukum pada keduanya.<br />Jadi kias dapat diterapkan dalam menetapkan hukum suatu masalah yang tidak adanya nash hukumnya bila ada persamaan illat hokum dengan suatu masalah yang jelas hukumnya dalam nash. Hal ini hanya dapat diketahui dengan logika, yaitu mengukur dan membandingkan antara masalah yang jelas hukumnya dengan masalah yang tidak ada ketetapan hukumnya, dalam hal illat hukumnya apakah sama atau tidak.<br />Contoh, Nabi saw melakukan dakwah islamiyyah dengan mengirimkan beberapa surat pada penguasa tetangga negara, untuk diajak menjalankan ajaran tawhid. Upaya tersebut diujudkan dalam bentuk ekspansi ke negara-negara tetangga oleh \'Umar ibn Khattab ra dan khalifah-khalifah sesudahnya.<br />2. Istihsan (Memandang lebih baik)<br />Istihsan secara sederhana dapat diartikan sebagai berpaling dari ketetapan dalil khusus kepada ketetapan dalil umum. Dengan kata lain, meninggalkan suatu dalil, beralih kepada dalil yang lebih kuat, atau membandingkan satu dalil dengan dalil lain untuk menetapkan hukum. Hal ini dilakukan untuk memilih yang lebih baik demi memenuhi tuntutan kemaslahatan dan tujuan syariat.<br />Sebagai contoh menurut sunnah tanah wakaf tidak boleh dialikan kepemilikannya dengan dijual, atau diwariskan atau dihibahkan. Tapi jika jika tanah wakaf tersebut tidak difungsikan sesuai dengan tujuan wakaf, ini berarti mubazir. Al-Qur’an melarang perbuatan mubazir. Untuk kasus seperti ini bisa diterapkan metode istihsan untuk mengefektifkan tanah wakaf tersebut sesuai dengan tujuan wakaf.<br />Metode istihsan dapat diterapkan untuk menyelesaikan, antara lain, masalah konflik kepentingan antara dua pihak, yaitu kepentingan yang jangkauannya sempit dan kepentingan yang skopnya luas. Contoh, pemelikan tanah oleh seseorang harus dilindungi, sementara masyarakat menghendaki agar tanah itu dibebaskan dari pemiliknya untuk dijadikan bagi kepentingan umum, seperti membangun jalan umum, atau sarana pendidikan, sarana kesehatan, dan sebagainya. <br />3. Mashlahah mursalah<br />Kata mashlahah berarti kepentingan hidup manusia. Kata Mursalah sesuatu yang tidak ada ketentuan nash syariat yang menguatkan atau membatalkanya. Maslahah mursalah yang disebut juga istihlah secara terminologis menurut ulama-ulama usul, adalah maslahah yang tidak ada ketetapannya dalam nash yang membenarkannya atau membatalkannya. Metode ini adalah salah satu cara dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah yang ketetapannya tidak sama sekali disebutkan dalam nash dengan pertimbangan untuk mengatur kemaslahatan hidup manusia. Prinsipnya menarik manfaat dan menghindarkan kerusakan dalam upaya memelihara tujuan hukum yang lepas dari ketetapan dalil syara.<br />Maslahah Mursalah dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum bila: 1)masalah itu bersifat esensil atas dasar penelitian, observasi dan melalui analisa dan pembahasan yang mendalam, sehingga penetapan hukum terhadap masalah benar-benar member manfaat dan menghindarkan mudharat, 2)Masalah itu bersifat umum bukan kepentinga perorangan, tapi bermanfaat untuk orang banyak, 3)Masalah itu tidak bertentangan dengan nash dan terpenuhinya kepentingan hidup manusia serta terhindar dari kesulitan. <br />4. Istishab<br />Istishab adalah menjadikan ketetapan hukum yang ada tetap berlaku hingga ada ketentuan dalil yang merubahnya. Artinya mengembalikan segala sesuatu kepada ketentuan semula selama tidak ada dalil nash yang mengharamkannya atau melarangnya. Seperti berbagai hukum jenis hewan, benda, tumbuh-tumbuhan, makanan, minuman dan amal perbuatan yang tidak ada dalil syara yang menetapkan hukumnya, hukumnya adalah mubah atau halal. Demikian juga pertukaran barang dan jasa yang sering terjadi dalam kehidupan manusia. Jika tidak ada dalil syara yang melrangnya dan tidak ada bukti autentik tentang terjadinya perjanjian tukar menukar barang dan jasa maka hukumnya mubah. Karena segala ciptaan Allah dialam semesta seluruhnya untuk masnusia agar dapat diambil manfaat dan hukumnya mubah. Allah menyatakan; Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu. (QS Al Baqarah;29). Dan Dia menundukkan untuk kamu apa yang ada dilangit dan apa yang ada dibumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada Nya (QS Al- Jatsiyah)<br />5. ‘Urf<br />Kata ‘Urf berarti adat istiadat atau kebiasaan. ‘Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi tradisinya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, dan atau meninggalkan sesuatu. Pengertian ini dinamakan juga adat. Para ulama juga tidak membedakan antara ‘urf dan adat. Sebab definisi adat adalah apa yang telah dikenal oleh manusia dan menjadi suatu kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan.<br />Fiqih membagi ‘urf menjadi dua unsure yaitu ‘urf shahih (adat yang baik) dan ‘urf fasid (adat yang merusak). ‘Urf shahih adalah apa yang telah dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara, tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula membatalkan yang wajib. Sedang ‘Urf fasid adalah apa yang telah dikenal oleh manusia, tetapi bertentangan dengan syara’ atau menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib. <br />Bila ada suatu kejadian atau kebiasaan dalam kehidupan masyarakat dapat dikategorikan kedalam definisi diatas, maka ia dapat ditetapkan sebagai sumber penetapan hukum atau mengakui kelangsungannya sepanjanga ia tidak bertentangan dengan nash dan jiwa syariat. Dalam konteks ini kaidah mengatakan;”Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai sumber hukum”<br />6. Kaidah-kadiah fiqih<br />Kaidah-kadiah fiqih yang dapat digunakan untuk mempelajari dan mengembangkan siyasah antara lain:<br />• “Perubahan hukum dengan sebab berubahnya zaman, tempat, situasi, adat dan niat”<br />• “Kemaslahatan yang umum didahulukan atas kemaslahatan yang khusus”<br />• “Kesulitan membawa kepada kemudahan”<br />• “Tindakan atau kebijaksanaan kepala Negara terhadap rakyat tergantung kepada kemaslahatan.”<br />• “Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya (secara sempurna) janganlah ditinggalkan seluruhnya.”<br />Kaidah-kaidah tersebut menegaskan bahwa suatu kebijaksanaan, keputusan, peraturan, perundang-undangan atau hukum di bidang muamalah yang ditetapkan pada suatu waktu dan tempat tertentu dapat diubah atau diganti oleh pemegang kekuasaan/ pemerintah. Perubahan perlu apabila ia tidak lagi relevan dengan realpolitic. Sebab perubahan zaman, tempat, situasi dan kultur dengan suatu peraturan dan undang-undang yang lebih sesuai dengan waktu berakhir. Perubahan atau pergantian tentu tidak asal berubah saja. Tetapi perubahan yang tetap berorientasi kepada nilai-nilai dan jati diri manusia dan kemanusian. Muatannya tidak bertentangan secara subtansial dengan nash-nash syariat yang bersifat universal pada setiap zaman dan tempat. Ia juga harus bersifat transparan, sehingga dapat mengantisipasi perkembangan zaman yang dihadapi dan mampu menampung aspirasi masyarakat bagi kemajuan social budaya, ekonomi dan politik untuk mewujudkan kemaslahatan umat.<br /><br />III. Penutup<br />Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:<br />1. Dalam mendefinisikan fiqih siyasah, para tokoh memiliki sejumlah pendapat yang berbeda baik secara etimologis maupun terminologis. Dari sejumlah definisi tersebut, secara umum menyatakan bahwa fiqih siyasah secara etimologis berarti pemahaman yang mendalam dan akurat dalam pengelolaan negara berdasarkan aturan dan hukum. Adapun menurut terminologi Ulama pada umunya menyatakan tentang upaya menggapai kesejahteraan masyarakat.<br />2. Objek kajian fiqih siyasah sangat beragam dan berbeda antara satu tokoh dengan tokoh lainnya, dimana secara garis besar mencakup bidang fiqih siyasah dusturiyah , bidang fiqih siyasah dauliyah, bidang fiqih siyasah maliyah dan bidang fiqih siyasah harbiyah.<br />3. Metode dalam mempelajari fiqih siyasah sama dengan mempelajari fiqih secara umum yaitu metode usul fiqih dan kaidah fiqiyah yang meliputi qiyas, istihsan, ‘uruf, maslahat mursalat dan istishab.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Daftar Pustaka<br />Alqur’an<br />As- Sunnah<br />Ahmad Saebani, Ahmad, Fiqih Siyasah; Pengantar Ilmu Politik Islam, Pustaka Setia, Bandung;2008<br />Djazuli, Prof. Dr. H.A, Kaidah-Kaidah Fiqih, Prenada Media Group, Jakarta;2007<br />Ibnu Syarif, Mujar dan Zada, Khamami, Fiqih Siyasah; Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Erlangga, Jakarta;2008<br />Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih (terjemahan), Rineka Cipta, Jakarta;2005<br />Pulungan, Dr. J. Suyuthi, Fiqih Siyasah; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Rajawali Pers, Jakarta;1993<br />Salim, Prof, Dr. Abdul Mui, Fiqih Siyasah; Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an, Rajawali Pers,Jakarta,2002<br />Aziz, F, Aminudin, Fiqih Siyasah (Politik Islam) www.aminazizcenter.com/2009<br />Kholid Syamhudi, LC, Fiqih Politik, www.blogcatalog.comduscikceolahhttp://www.blogger.com/profile/01938035177145446106noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7191634245546583112.post-29493323123716728452009-07-31T03:06:00.000-07:002009-07-31T03:13:30.101-07:00FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL NO.42/DSN-MUI/V/2004<br />TENTANG SYARIAH CHARGE CARD<br />DALAM PANDANGAN YURISPRUDENSI<br /><br /><br />A. Pendahuluan<br /><br />Islam sebagai agama yang sempurna telah memberi aturan-aturan secara menyeluruh dalam rangka mengatur kegiatan manusia dimuka bumi. Aturan-aturan itu dengan indah dicantumkan dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Rasulullah dengan Sunnahnya. Dengan demikian, tidak ada satu sisipun dari kehidupan manusia yang lepas dari aturan Islam, baik masalah ibadah maupun muamalah.<br />Salah satu masalah muamalah yang mendapat perhatian cukup besar dalam Islam adalah masalah ekonomi. Sebagai agama yang sempurna, maka seyogyanya Islam dapat memberikan pedoman hidup secara menyeluruh bagi manusia dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Begitu banyak firman Allah yang diturunkan untuk mengatur manusia tentang bagaimana cara menjalankan kegiatan ekonomi dengan baik yang diridhoi oleh Allah SWT. Salah satu hal yang paling ditekankan oleh Allah SWT adalah masalah Riba, sebagaimana firmannya: <br />” ..... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.....” (Al Baqarah (2) :275)<br /><br />Oleh karena itu, dalam melaksanakan kegiatan muamalah dibidang ekonomi, seorang muslim harus menghindari praktek-praktek ribawi. <br />Namun terkadang, ada kalanya terdapat praktek-praktek muamalah yang dinilai oleh sebagian pihak tidak sesuai dengan prinsip syariah namun pihak lain dianggap sesuai dengan syariah dan telah dikeluarkan fatwa halal oleh Majelis Ulama Indonesia. Salah satunya adalah kegiatan muamalah dibidang ekonomi dengan menggunakan charge card.<br /><br />B. Pembahasan<br />Pengertian Charge Card<br />Secara etimologis, charge Card terdiri dari dua suku kata yaitu:<br />1. Chartes, χάρτης (a sheet ('chart') of writing-material (as to be scribbled over)) sepotong material yang tertera tulisan.<br />2. Charge adalah ongkos muatan, harga <br />Dengan demikian, secara bahasa, Charge Card dapat diartikan sebagai sebuah potongan material kecil yang bertulisan yang digunakan untuk proses tertentu yang dengannya dibebankan biaya/harga tertentu.<br />MUI dalam fatwanya menambahkan kata Syariah didepannya sehingga menjadi Syariah Charge Card yang diartikan sebagai sebagai fasilitas kartu talangan yang dipergunakan oleh pemegang kartu (hamil al-bithaqah) sebagai alat bayar atau pengambilan uang tunai pada tempat-tempat tertentu yang harus dibayar lunas kepada pihak yang memberikan talangan (mushdir al-bithaqah) pada waktu yang telah ditetapkan.<br /><br /><br />Perbedaan Charge Card dengan Credit Card<br />Perbedaan antara Syariah Charge Card dengan Kredit Card yaitu terletak pada penggunaan kata Charge dan Credit. Kata Credit berasal dari bahasa Latin “Credere’ yang berarti loan, debt, what is lent atau “creditum” yang berarti berati lend to, make loans, give credit; trust, entrust; commit . Sedangkan kata Charge yang berarti ongkos muatan , harga.<br />Dengan demikian, dari pengertian secara bahasa sudah jelas bahwa Charge Card berbeda dengan Credit Card. Jika Charge Card adalah bukan bersifat memberi pinjaman namun hanya memberi suatu jasa dengan dibebankan ongkos/imbalan seharga tertentu. Sedangkan Credit Card adalah bersifat memberi pinjaman yang didasarkan pada kepercayaan. <br />Namun demikian, menurut terminology seringkali Charge Card disamakan dengan Credit Card. Prof.Dr. Abdullah al-Mushlih dan Prof. Dr. Shalah ash-Shawi dalam jurnal yang berjudul Hukum Kartu Kredit Dalam Jual Beli menganggap Charge Card sebagai salah satu varian dari Credit Card yaitu kartu kredit yang tidak dapat diperbaharui. Adapun varian lainnya adalah Revolving Credit Card yaitu kartu kredit yang dapat diperbaharui.<br />Lebih rinci dalam jurnalnya, Prof. Dr. Abdullah al-Mushlih dan Prof. Dr. Shalah ash-Shawi mengungkapkan bahwa yang menonjol dari charge card adalah diharuskannya menutup total dana yang ditarik secara leng-kap dalam waktu tertentu yang diperkenankan, atau sebagian dari dana tersebut. Biasanya waktu yang diperkenankan tidak lebih dari tiga puluh hari, namun terkadang bisa mencapai dua bulan. Kalau pihak pembawa kartu terlambat membayarnya dalam waktu yang telah ditentukan, ia akan dikenai denda keterlam-batan. Dan kalau ia menolak membayar, keanggotaannya dicabut, kartunya ditarik kembali dan persoalannya diangkat ke pengadilan. <br />Sedangkan pada Credit Card Pemilik kartu ini diberikan pilihan cara menutupi semua tagihannya secara lengkap dalam jangka waktu yang ditoleransi atau sebagian dari jumlah tagihannya dan sisanya diberikan dengan cara ditunda, dan dapat diikutkan pada tagihan berikut-nya. Bila ia menunda pembayaran, ia akan dikenakan dua macam bunga: Pertama bunga keterlambatan, kedua bunga dari sisa dana yang belum ditutupi. Kalau ia berhasil menutupi dana tersebut dalam waktu yang ditentukan, ia hanya terkena satu macam bunga saja, yaitu bunga penundaan pembayaran. Dana yang ditarik tidak akan terbatas bila pemiliknya terus saja melunasi tagihan beserta bunga kartu kreditnya secara simultan.<br /><br />C. Konsep Syariah Chage Card menurut Fatwa DSN No. 42/DSN-MUI/V/2004.<br />Berdasarkan fatwa MUI No.42/SDN-MUI/V/2004, akad yang digunakan pada produk Syariah Charge Card adalah sebagai berikut:<br />1. Untuk transaksi pemegang kartu melalui merchant, akad yang digunakan adalah akad kafalah wal ijarah.<br />2. Untuk transaksi pengambilan uang tunai digunakan akad qard wal ijarah.<br /><br /><br /><br />Selain itu, dalam fatwa tersebut juga diatur ketentuan dan batasan syariah yaitu:<br />1. Tidak boleh menimbulkan riba.<br />2. Tidak digunakan untuk transaksi objek yang haram atau maksiat.<br />3. Tidak mendorong israf (pengeluaran yang berlebihan) antara lain dengan cara menetapkan pagu.<br />4. Tidak mengakibatkan utang yang tak pernah lunas.<br />5. Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan financial untuk melunasi pada waktunya.<br />Adapun mengenai fee yang dibebankan kepada pemegang kartu terdiri dari:<br />1. Iuran Keanggotaan (membership)<br />Penerbit kartu boleh menerima iuran keanggotaan termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan izin pengunaan fasilitas kartu<br />2. Merchant Fee (ujrah)<br />Penerbit kartu boleh mengambil fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan, pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al dayn)<br />3. Fee Penarikan Uang Tunai<br />Penerbit kartu boleh mengambil fee penarikan uang tunai sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan.<br />Selain itu, Penerbit Kartu dapat mengenakan Denda Keterlambatan pembayaran (late Charge), dan Denda karena melampaui pagu (overlimit charge) tanpa seizin Penerbit Kartu. Dana yang berasal dari denda tersebut diakui sebagai dana sosial.<br /><br />D. Landasan Syariah yang Digunakan<br />Dalam fatwa tersebut, MUI menggunakan sejumlah Ayat Alqur’an, Hadist dan Pendapat Fuqaha sebagai landasan syariah dalam memberikan fatwa halal penggunaan Syaria Charge Card.<br />1. Penggunaan prinsip Kafalah (penjaminan) dalam transaksi charge card disandarkan pada dalil:<br />a. Hadis Nabi Riwayat Bukhari dari Salamah bin Al-Akwa;<br />“telah dihadapkan kepada rasulullah saw jenazah seorang laki-laki untuk dishalatkan. Rasulullah bertanya; ‘Apakah ia mempunyai hutang?’ Sahabat menjawab; ‘Tidak’ Maka beliau menshalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi jenazah lain. Rasulullah pun bertanya; ‘Apakah ia mempunyai hutang?’ Mereka menjawab; ‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Salatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri tidak mau menshalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata. ‘Saya menjamin hutangnya, ya Rasulullah’. Maka Rasulullah pun menshalatkannya jenazah itu”<br />b. Hadis Nabi riwayatkan Abu Daud, Trimizi dan Ibn Hibban:<br />“Za’im (penjamin) adalah gharim (orang yang menanggung).”<br />c. Pendapat Fuqaha; antara lain dalam Kitab Mughni al-Muhtaj, jilid II:201-202:<br />“(Hal yang dijamin) yaitu utang (disiyaratkan harus berupa hak yang telah terjadi) pada saat akad. Oleh karena itu, tidak sah menjamin utang yang belum menjadi kewajiban ... (Qaul qadim ---Imam al-Syafi’i -- menyatakan sah penjaminan terhadap utang yang akan menjadi kewajiban), seperti harga barang yang akan dijual atau sesuatu yang akan diutangkan. Hal itu karena hajat. – kebutuhan orang –terkadang mendorong adanya penjaminan tersebut.<br />Hadis nabi dan pendapat fuqaha tersebut diatas, menjadi sandaran MUI dalam penggunaan akad Kafalah dalam transaksi Syariah Cahrge Card. <br />2. Penggunaan Prinsip Ijarah disandarkan pada dalil:<br />a. QS. Yusuf (12):72:<br />“Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala Raja: dan barang siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.<br />b. Hadis Nabi riwayat Abu Daud dari Sa’d Ibn Abi Waqqash, ia berkata:<br />“Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.”<br />c. Hadis riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w, bersabda:<br />“Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya”<br />Selain itu, MUI juga menggunakan sejumlah dalil-dalil sebagai landasan dalam memberikan ketentuan batasan syariah dalam penggunaan Syariah Charge Card diantara :<br />• QS. Al-Furqan (25):67:<br />“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) ditengah-tengah diantara yang demikian”<br />• QS, AL-Isra’ (17):26-27:<br />“ ... Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”<br />Kedua ayat tersebut diatas, jelas sekali terlihat bahwa Allah melarang umat islam untuk membelanjakan harta secara berlebih-lebihan dan melakukan pemborosan karena hal tersebut merupakan sifat syaitan. Oleh karena itu, dalam produk Syariah Charge Card diharuskan adanya penetapan pagu untuk menghindari adanya penggunaan secara berlebihan. <br />Adapun batasan syariah yang lain yang tertuang dalam fatwa MUI mengenai Syariah Charge Card adalah tidak boleh menimbulkan riba dan melakukan transaksi atas barang-barang yang haram dan maksiat. Ketentuan ini disandarkan pada dalil QS. Al-Baqarah (2):275:<br />“Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang-orang yang kemasukan syaitan lantaran(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.” <br /><br /><br /><br />Didalam fatwa ini, juga terdapat penggunaan Kaidah Fiqih diantaranya:<br />1. “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang melarangnya”<br />2. “Keperluan dapat menduduki posisi darurat”<br />Dari dalil-dalil yang digunakan diatas, jelas sekali bahwa penggunaan syariah charge card sesuai dengan syariah.<br /><br />E. Kelemahan Fatwa DSN No.52/DSN-MUI/V/2004 tentang Syariah Charge Card<br /><br />Atas fatwa yang dikeluarkan oleh SDN mengenai Syariah Charge Card terdapat kelemahan yang akan mengaburkan penerapan prinsip syariah atas produk tersebut yaitu dimungkinkannya pemakaian melampaui pagu (overlimit). Dengan dibolehkannya penerbit kartu mengenakan biaya dengan karena melampaui pagu, berarti memberi ruang baru penerbit kartu untuk menerapkan sistem teknologi penggunaan syariah charge card yang memungkinkan pemegang kartu untuk melakukan transaksi yang nilainya melebihi pagu yang telah disepakati. Ini tentu saja tidak sejalan dengan ketentuan “tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf) . Hal ini tentu saja akan bertentangan dengan dalil Al-Qur’an Surah Al-Furqan (67) dan AL-Isra’ 26-27, yang secara tegas melarang manusia dari perbuatan pemborosan atau menghambur-hamburkan harta.<br /><br />F. Penutup<br />Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa syariah charge card sesuai dengan prinsip syariah dengan ketentuan dan batasan:<br />1. Tidak boleh menimbulkan riba<br />2. Tidak digunakan untuk transaksi objek yang haram atau maksiat.<br />3. Tidak mendorong israf (pengeluaran yang berlebihan) antara lain dengan cara menetapkan pagu.<br />Namun demikian, dalam fatwa yang ditetapkan oleh DSN tersebut diatas, terdapat celah yang memungkinkan penerbit syariah charge card melakukan ketentuan yang melanggar prinsip-prinsip syariah seperti adanya transaksi yang berlebihan dan pembebanan biaya yang memberatkan pemegang kartu. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Referensi:<br /><br />Al-Qur’an<br />Al-Hadist<br />Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI-Edisi Revisi Tahun 2006, DSN MUI –BI, 2006<br />Abu Muawiyah, Masalah At-Tawarruq, (http://al-atsariyyah.com/?p=537 : 15 December 2008.<br />Nibra Hosen, Tawarruq, http://nibrahosen.multiply.com/journal/item/21/Tawarruq:15 Februari 2008.<br />Zulkarnain bin Muhammad Sunusi, Jual Beli Dengan Cara Kredit, http://groups. yahoo.com/ group/nashihah/ message/41, 21 Desember 2008.<br />Adiwarman Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, Karim Business Consulting, 2003.duscikceolahhttp://www.blogger.com/profile/01938035177145446106noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7191634245546583112.post-43694451732757251482009-07-30T00:58:00.000-07:002009-07-30T01:20:46.780-07:00Tawarruq Dalam Perspektif Hukum IslamA. Pendahuluan<br /><br />Islam sebagai agama yang sempurna telah memberi aturan-aturan secara menyeluruh dalam rangka mengatur kegiatan manusia dimuka bumi. Aturan-aturan itu dengan indah dicantumkan dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Rasulullah dengan Sunnahnya. Dengan demikian, tidak ada satu sisipun dari kehidupan manusia yang lepas dari aturan Islam, baik masalah ibadah maupun muamalah.<br />Salah satu masalah muamalah yang mendapat perhatian cukup besar dalam Islam adalah masalah ekonomi. Sebagai agama yang sempurna, maka seyogyanya Islam dapat memberikan pedoman hidup secara menyeluruh bagi manusia dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Begitu banyak firman Allah yang diturunkan untuk mengatur manusia tentang bagaimana cara menjalankan kegiatan ekonomi dengan baik yang diridhoi oleh Allah SWT. Salah satu hal yang paling ditekankan oleh Allah SWT adalah masalah Riba, sebagaimana firmannya: <br />” ..... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.....” (Al Baqarah (2) :275)<br /><br />Riba dianggap sebagai sebuah kegiatan ekonomi yang zalim yang jauh dari nilai-nilai keadilan. Oleh karena itu, Islam menganjurkan Umat manusia untuk meninggalkan praktek-praktek ribawi. Selain firman Allah SWT diatas, terdapat begitu banyak hadist Rasulullah yang melarang Manusia untuk melakukan kegiatan ribawi.<br />Sebagaimana firman Allah diatas, bahwa Allah telah menghalalkan jual beli sebagai suatu cara bagi manusia untuk menjalankan kegiatan ekonomi dengan baik dan di ridhoi Allah SWT. Namun demikian, kebutuhan ekonomi manusia kadangkala tidak dapat terpenuhi dengan kegiatan jual beli mengingat terkadang manusia tidak memerlukan barang melainkan uang tunai yang dapat digunakan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidup. Memang Islam telah memberi jalan kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan uang tunai dengan meminjam kepada orang berpunya dengan prisip qard (tanpa tambahan/bunga). Namun demikian. Masalah akan timbul ketika tidak ada orang yang bersedia memberikan pinjaman qard, disatu pihak seseorang sangat membutuhkan uang tunai untuk menjalankan kegiatan ekonomi mereka baik untuk konsumsi maupun produksi.<br />Untuk mendapatkan uang tunai tanpa melakukan cara ribawi, beberapa pihak yang melakukan Tawarruq. Namun demikian, transaksi Tawarruq menjadi perdebatan oleh beberapa pihak mengenai kehalalannya. Sejumlah pihak berpandangan bahwa Tawarruq sebagai sebuah kegiatan yang dibuat-buat sehingga unsur ribanya tidak tampak padahal esensinya adalah kegiatan ribawi. Dilain pihak, Tawarruq dianggap hal yang diperkenankan dalam Islam sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan uang tunai.<br />Masih diperdebatkannya kehalalan Tawarruq inilah yang menjadi dasar bagi penulis untuk membuat makalah yang berjudul “ Hukum Tawarruq Berdasarkan Kajian Fiqih Terpadu”<br /> <br /><br /><br />B. Definisi Tawarruq<br />Dalam Bahasa Arab, akar kata dari tawaruq adalah “wariq” yang artinya : simbol atau karakter dari perak (silver). Kata tawarruq ini di gunakan untuk mengartikan, mencari perak, sama dengan kata Ta allum, yang arti nya mencari ilmu, yaitu belajar atau sekolah. Kata Tawarruq dapat di artikan dengan lebih luas yaitu mencari uang tunai dengan berbagai cara yaitu bisa dengan mencari perak, emas atau koin yang lainnya. Secara literatur artinya adalah berbagai cara yang di tempuh untuk mendapatkan uang tunai atau likuditas. Istilah tawarruq ini di perkenalkan oleh Mazhab Hambali. Mazhab Shafi’i mengenal tawarruq dengan sebutan “zarnagah”, yang artinya bertambah atau berkembang. (Nibra Hosen : 2008)<br />Dalam Hukum Islam, tawarruq artinya adalah struktur yang dapat dilakukan oleh seorang mustawriq/mutawarriq yatiu seorang yang membutuh kan likuditas. Transaksi tawarruq adalah ketika seseorang membeli sebuah produk dengan cara kredit (pembayaran dengan cicilan) dan menjual nya kembali kepada orang ke tiga yang bukan pemilik pertama produk tersebut dengan cara tunai, dengan harga yang lebih murah. Ada 3 formasi dari tawarruq: (Nibra Hosen 2008)<br />1. Seseorang yang membutuhkan likuditas (uang tunai) membeli produk/barang/komoditi dengan cara kredit dan menjual nya kepada pihak lain dengan cara tunai, tanpa di ketahui oleh pihak pihak lain akan niat nya tersebut di atas.<br />2. Seseorang (mutawarriq) yang membutuh kan uang tunai, memohon untuk di berikan pinjaman uang, dari penjual, yang menolak untuk meminjamkan uang nya, tapi penjual tersebut berkeinginan untuk menjual barangnya dengan cara kredit dengan harga tunai, lalu mutawarriq tersebut dapat menjual kembali barang tersebut kepada orang lain dengan harga yang lebih rendah atau lebih tinggi.<br />Kedua formasi transaksi tawarruq ini dapat di terima dan di izinkan oleh para Ulama tanpa ada nya perdebatan.<br />3. Hampir sama dengan formasi no. 2, kecuali si penjual, menjual barangnya dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar kepada Mutawarriq, sebagai akibat dari pembayaran yang tertunda/dengan cicilan. Formasi ini masih diperdebatkan oleh para pakar Hukum ekonomi syariah.<br /><br />Dalam dunia perbankan dewasa ini, Tawarruq diterapkan dalam bentuk yang telah dimodifikasi. Untuk menjalankan transaksi tawarruq, perbankan syariah melibatkan broker komoditi dalam penyediaan komoditi yang dijadikan sebagai obyek transaksi Tawarruq. <br /><br /><br />C. Perbedaan antara Tawarruq dan Inah<br />Letak perbedaan antar Tawarruq dengan Inah hanya pada tempat penjualan barang kembali. Kalau jual beli dengan cara Al-‘Inah penjualannya kembali kepada pihak penjual sedangkan Tawarruq penjualannya kepada pihak ketiga selain dari pihak penjual. <br />Akar kata dari inah adalah ayn (barang yang telah di beli) dapat menemukan jalan nya kembali kepada pemilik asalnya. Menurut kebanyakan dari para pakar Hukum Islam, barang yang di gunakan adalah sebuah alat untuk melakukan hilah, yaitu rekayasa untuk menghindar dari hal hal yang di larang, seperti riba. Sebagian besar Ulama tidak membolehkan transaksi Jual beli Inah dan hanya sedikit saja yang membolehkan. Diantara Ulama yang melarang Inah adalah Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal. <br />Salah satu dalil yang menjadi sandaran para Ulama yang melarang Inah adalah Hadist yang diriwayatkan Abu Huiroiroh ra: <br /> <br />“Jika kamu melakukan jual beli secara ‘inah, mengambil ekor sapi, rela dengan pertanian dan meninggalkan jihad, maka Alloh SWT akan melimpahkan kehinaan kepada kalian sampai kalian kembali ke agama kalian”. (HR. Abu Daud)<br /><br /><br />D. Pendapat Para Ulama tentang Tawarruq <br />Ada dua pendapat dikalangan para ulama tentang hukum Tawarruq ini : (Abu Muawiyah : 2008)<br />1. Hukumnya adalah boleh. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama dan pendapat Iyas bin Mu’awiyah serta salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Dan ini yang dikuatkan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy , Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz , Syaikh Sholih Al-‘Utsaimin , Syaikh Sholih Al-Fauzan dan keputusan Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy .<br />Ulama yang membolehkan Tawarruq bersandarkan pada kaidah umum bahwa hukum asal dalam jual beli adalah halal dan tercakup dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla :<br />“Dan Allah telah menghalalkan jual beli”. (QS. Al-Baqorah: 275). <br />Dan dalam masalah Tawarruq ini tidak nampak bentuk riba baik secara maksud maupun bentuk, sementara manusia membutuhkan mu’amalah yang seperti ini dalam melunasi hutang, nikah dan lain-lainnya. Namun Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mensyaratkan bolehnya dengan beberapa ketentuan :<br /> Ia butuh untuk melakukan transaksi tersebut dengan kebutuhan yang jelas<br /> Sulit baginya mendapatkan keperluannya dengan jalan Al-Qardh (pinjaman), As-Salam maupun yang lainnya.<br /> Hendaknya barang yang akan ditransaksikan telah dipegang dan dikuasai oleh penjual.<br />Wallahu Ta’ala A’lam. <br />2. Hukumnya adalah haram. Ini adalah riwayat kedua dari Imam Ahmad dan pendapat ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz serta dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Saudi Arabia .<br />C. Tawarruq Berdasarkan Kajian Fiqih Terpadu<br /><br /> Dalam menentukan hukum suatu masalah dengan menggunakan fiqih terpadu, selain memperhatikan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah baik yang bersifat khusus maupun umum, juga memperhatikan qara’in ahwal baik manqulah maupun ghoiru manqulah.<br /><br /> Dalil-Dalil<br /> Al-Qur’an<br /> QS. An Nisa (4) :29:<br /> ”Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu ...”<br /> Al Baqarah (2) :275:<br />”.. dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”<br /> Al Maidah (5):1:<br />“..Hai orang-orang beriman! Penuhilah akad-akad itu ..”<br /> Al-Baqarah (2) :280:<br />“..Dan jika (Orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan ..”<br /><br />Dari dalil-dalil Al-Qur’an diatas, tidak satupun yang melarang transaksi Tawarruq bahkan dapat dijadikkan hujjah untuk membolehkannya. Pada dasarnya, Tawarruq merupakan serangkaian transaksi jual beli yang terdiri dari jual beli secara tunai dan jual beli secara kredit (tangguh) dan sebagaimana dalil diatas secara jelas bahwa Allah menghalalkan jual beli baik secara tunai maupun secara tangguh.<br /><br /><br /> Al-Hadist<br /><br /> Salah satu Hadist yang tercatat oleh al-Bukhari dan Muslim terbukti telah mendukung transaksi ini. <br />“Ketika salah satu petani kurma dari Khaybar datang dan membawa kan Kualitas Kurma yang tebaik kepada Nabi Muhammad SAW , Nabi bertanya kepada petani tersebut apakah semua buah kurma dari Khaybar sangat baik mutu nya. Petani ini menjawab tidak, saya menukar dua ukuran (kg) kualitas kurma yang rendah untuk satu ukuran (kg) yang bagus, terkadang saya harus menukar 3 ukuran (kg) yang kulitas rendah untuk satu ukuran (kg) yang kualitas nya bagus. Lalu Nabi Muhammad melarang petani itu untuk melakukan transaksi itu dan malah menyarankan untuk menjual semua kualitas rendah nya agar mendapat kan uang tunai (berupa koin perak pada jaman itu) dan lalu menggunakan uang tersebut untuk membeli Kurma dengan kualitas yang bagus. <br />Hadist ini mengindikasikan di perkenankannya suatu metode untuk menghindari Riba. Semua media jual beli dan syarat syarat serta kondisi dari transaksi jual beli sudah terpenuhi, bebas dari faktor faktor yang di larang. Niat untuk mendapat kan kualitas Kurma yang lebih bagus tidak membatal kan struktur nya. Dengan demikian, hal ini menunjukan legalitas dari transaksi jual beli dimana maksud dan niat yang berlainan menggunakan suatu media dapat di terima dan dilakukan dan bebas dari riba secara explicit dan implicit. Jadi untuk mendapatkan likuiditas dengan media ini (tawarruq) sudah seharus nya di perkenan kan apabila memang di perlukan.”<br /><br />Hadist-hadist lain yang juga mendukung dibolehkannya Tawarruq adalah sbb:<br /><br /> Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabsa, ”Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka. ” (HR. Al- Baihaqi dan Ibnu Maja, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban)<br /><br />Dari hadist diatas selaras dengan Firman Allah SWT QS. An Nisa (4) :29. Dengan demikian, ketika pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi Tawarruq berdasarkan prinsip suka sama suka (suka rela) maka tidaklah mengapa untuk dilakukan. Adapun masalah adanya transaksi secara tangguh dengan harga yang lebih tinggi dari harga kontan yang menjadi perdebatan dalam menentukan hukum tawarruq dapat dijelaskan oleh hadist dibawah ini,<br /><br /> ”Nabi besabda, ”Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu majah dan Suhaib)<br /><br />Hadist diatas, dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa transaksi secara kredit (tangguh) pada struktur tawarruq tidak bertentangan dengan Syariat. Adapaun masalah adanya perbedaan harga antara penjualan secara tunai dan secara kredit, sebanarnya kondisinya sama seperti murabahah yang banyak diterapkan oleh bank syariah saat ini dimana harga barang yang dijual lebih mahal dari harga kontannya bahkan besaran harga sangat bergantung dengan jangka waktu pembayaran.<br /><br />Tentang perbedaan harga tunai dengan harga kredit ini, dapat kita simak kutipan tanya jawab antara seseorang dengan Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baz rahimahullah. Ketika ditanya tentang hukum membeli sekarung gula dan semisalnya dengan harga 150 Riyal SA sampai suatu waktu (denga kredit-pent) dan ia senilai 100 Riyal secara kontan, maka beliau menjawab:<br /> “Sesungguhnya Mu’amalah ini tidaklah mengapa, karena menjual secara kontan berbeda dari menjual secara kredit dan kaum muslimin terus menerus melakukan mu’amalah seperti ini. Ini adalah Ijma’ (kesepakatan) dari mereka tentang bolehnya. Dan telah syadz (ganjil/bersendirian) sebagian ulama, bila ia melarang adanya tambahan disebabkan karena (tambahan) waktu sehingga ia menyangka hal tersebut adalah bagian dari riba. Ia adalah pendapat tidak ada sisinya, bahkan tidaklah (hal tersebut) termasuk riba sama sekali karena seorang pedagang ketika ia menjual barang sampai suatu waktu (dengan kredit,-pent), ia menyetujui adanya penangguhan hanyalah karena ia mengambil manfaat dengan tambahan (harga) dan si pembeli rela adanya tambahan karena ada pengunduran dan karena ketidakmampuannya untuk menyerahkan harga secara kontan maka keduanya mengambil manfaat dengan mu’amalah ini dan telah tsabit (pasti/tetap) dari Nabi shollallahu ‘alahi wa sallam sesuatu yang menunjukkan bolehnya hal tersebut…”. (Dinukil dari kitab Min Ahkamil Fiqhil Islamy Karya ‘Abdullah Al-Jarullah hal. 57-58 dengan perantara Bai’ut Taqsith karya Hisyam Alu Burgusy.)<br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seekor kuda yang dia beli dengan harga 180 Dirham, lalu seseorang memintanya dengan harga 300 Dirham dalam jangka waktu (pembayaran) tiga bulan; apakah hal tersebut halal baginya.<br />Beliau menjawab : “Al-Hamdulillah, Apabila ia membelinya untuk diambil manfaatnya atau untuk ia perdagangkan maka tidaklah mengapa menjualnya sampai suatu waktu (dengan kredit,-pent). Akan tetapi janganlah ia mengambil keuntungan dari orang yang butuh kecuali dengan keuntungan yang wajar. Jangan ia menambah (harga) karena daruratnya (karena ia sangat membutuhkannya,-pent.). [Adapun kalau ia butuh dirham lalu membelinya (kuda tersebut, -pent.) untuk ia jual pada saat itu juga dan ia mengambil harganya maka ini adalah makruh menurut (pendapat) yang paling zhohir dari dua pendapat ulama][1]”. Dari Majmu’ Al-Fatawa 29/501.<br />Dan dalam jilid 29 hal. 498-500, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil bolehnya hal tersebut berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah dan Al-Ijma’.<br />Dan hukum bolehnya ini juga merupakan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Saudi Arabia[2], keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy no. 51 (2/6) dan no. 64 (2/7)[3], kesimpulan dalam AL-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin[4], Fatwa Syaikh Sholih Al-Fauzan[5], Fatwa Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh[6] dan kebanyakan ulama di zaman ini.<br /><br />Adapaun dalil yang dapat dijadikan sandaran untuk melarang Tawarruq adalah hadist berikut:<br /><br />Diriwayatkan Abu Huiroiroh ra, bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Jika kamu melakukan jual beli secara ‘inah, mengambil ekor sapi, rela dengan pertanian dan meninggalkan jihad, maka Alloh SWT akan melimpahkan kehinaan kepada kalian sampai kalian kembali ke agama kalian”. (HR. Abu Daud)<br /><br />Pada Hadist diatas dengan jelas dikatakan bahwa Allah SWT akan melimpahkan kehinaan kepada orang –orang yang melakukan transaksi Inah sampai mereka kembali ke agama mereka.<br /><br />Struktru Tawarruq hampir sama dengan struktru Inah. Perbedaan keduanya sangat sedikit yanitu terletak pada tempat penjualan barang kembali. Bila pada Inah, barang yang dibeli secara kredit tersebut dijual kembali ke penjual pertama (pemilik awal barang) sedangkan pada Tawrruq, barang dijual kembali kepada pihak ketiga (buka penjual pertama). Oleh karena itu, dianggap bahwa sebenarnya Tawarruq itu sama saja dengan Inah yang dilarang oleh Allah SWT.<br /><br />Selain itu, orang-orang yang melakukan Tawarruq terkadang tidak berada pada kondisi sangat butuh dengan likuiditas dimana jika liquiditas tidak terpenuhi maka kehidupannya akan terancam. <br /><br /><br />D. Qara’in Ahwal<br /> Manqulah<br /> Kaidah Fiqih<br /><br /> ”Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” ( Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid, Juz 2, hal.61; lihat pula Al-Kasani, Bada’i as-Sana’i, juz 5 Hal.220-222)<br /><br /> Hukum asal dalam muamalah adalah pemaafan, tidak ada yang diharamkan kecuali apa yang diharamkan oleh Allah SWT. (Ibnu Taimiyah, Juz II hlm.306)<br /> Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan. (Ahmad al-Nadwi)<br /> Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kredit) adalah sama dengan riba (Al Ruki)<br /> Segala perkara tergantung pada niatnya<br /> Seseorang tidak dapat menjual suatu barang yang bukan miliknya<br /><br /> Ghoiru Manqulah<br /> Aspek Ekonomi<br />Dalam kegiatan ekonomi masyarakat, ditemukan begitu banyak transaksi ribawi dalam usaha memenuhi kebutuhan liquiditas baik untuk keperluan bisnis maupun konsumsi. Hal ini sulit untuk dihindari mengingat tersedianya likuiditas telah menjadi kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mempertahanakn eksistensi bisnis. Adapun jalan untuk mendapatkan liquiditas dengan pinjaman Qard tidak tersedia. Oleh karena itu, masyarakat dan pengusaha menempuh jalan ribawi untuk bisa memenuhi kebutuhan likuiditas tersebut. <br />Namun demikian, ada sebagian masyarakat yang mencoba mencari jalan alternatif untuk bisa memenuhi kebutuhan liquiditas mereka namun tetap terhindar dari transaksi ribawai. Dan salah satu jalan alternatif tersebut adalah tawarruq.<br /><br /><br /><br /><br />Jika tawarruq dilarang, maka mereka dapat dipastikan akan menempuh jalan ribawii mengingat kondisi terpenuhinya liquiditas dewasa ini semakin menjadi kebutuhan tidak hanya untuk keperluaan yang bersifat mendesak namun juga untuk keperluan lainnya.<br /><br /><br />E. Penutup<br />Dari pembahasan diatas, maka dapat tarik kesimpulan bhawa secara dalil baik itu Al-Qur’an maupun As-Sunnah, lebih berat kepada yang membolehkan. Begitu juga, jika dilihat dari Qara’in Ahwal, baik manqulah maupun ghoiru manqulah lebih berat kepada yang membolehkan.<br />Namun demikian, untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan tawarruq yang pada mulanya muncul sebagai tindakan alternatif dalam memenuhi kebutuhan uang tunai tanpa menggunakan transaksi ribawi, maka perlu disyaratkan bolehnya dengan beberapa ketentuan:<br /> Seseoran butuh untuk melakukan transaksi tersebut dengan kebutuhan yang jelas<br /> Sulit baginya mendapatkan keperluannya dengan jalan Al-Qardh (pinjaman), As-Salam maupun yang lainnya.<br /> Hendaknya barang yang akan ditransaksikan telah dipegang dan dikuasai oleh penjual.<br />Wallahu Ta’ala A’lam<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Referensi:<br /><br />Al-Qur’an<br />Al-Hadist<br />Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI-Edisi Revisi Tahun 2006, DSN MUI –BI, 2006.<br />Abu Muawiyah, Masalah At-Tawarruq, (http://al-atsariyyah.com/?p=537 : 15 December 2008.<br />Mohd. Daud Bakar, Engku Rabiah Adawiah Engku Ali, Essential Readings In Islamic Finance, CERT Publications Sdn. Bhd, Kuala Lumpur, 2008<br />Nibra Hosen, Tawarruq, http://nibrahosen.multiply.com/journal/item/21/Tawarruq:15 Februari 2008.<br />Zulkarnain bin Muhammad Sunusi, Jual Beli Dengan Cara Kredit, http://groups. yahoo.com/ group/nashihah/ message/41, 21 Desember 2008.<br />Adiwarman Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, Karim Business Consulting, 2003.duscikceolahhttp://www.blogger.com/profile/01938035177145446106noreply@blogger.com0